Aku memperhatikan Pan yang tengah bersiap-siap untuk pertandingan pertamanya. Tidak kaget dengan keberhasilannya, ia akan sukses melewati seleksi pemain baru dalam tim. Lagi pula kapan ia pernah gagal?
Hari itu adalah hari dimana kampus kami secara besar-besaran melakukan pertandingan olah raga antar kampus dari berbagai bidang. Setahuku ada lima bidang olah raga yaitu futsal, basket, voli, bulu tangkis dan catur. Para gadis sangat bersemangat menyambut hari itu. Mereka menjadikan hari ini sebagai ajang untuk tebar pesona kepada kampus lain.
Mungkin hanya aku dan Alina yang menjadikan hari itu sama seperti hari-hari sebelumnya, tidak ada yang spesial. Alina harus memotret keseruan pertandingan futsal sebagai tugas salah satu mata kuliahnya. Sedangkan aku disini bermaksud untuk menemaninya dan melihat seberapa bodohnya Pan menjadi pemain inti dalam timnya.
Ngomong-ngomong soal Pan, hubungan kami menjadi baik. Ia tak ragu menyapaku ketika berpapasan di koridor, meski sapaannya terdengar tidak layak. Memukul kepalaku dengan undang-undang yang selalu ia bawa. Perubahan ini membuat ibu merasa sangat senang, ia tak ragu memberikan izin kepada Pan untuk membawa mobil ke kampus dengan syarat kami harus berangkat dan pulang bersama.
Ketika tengah menikmati susu kental manisku, Pan berjalan ke tempat duduk timnya. Aku sudah berbicara padanya, bahwa ketika pertandingan belum dimulai ia harus menjaga jarak denganku. Memang kesannya aku yang menjaga jarak sekarang, tapi itu ku lakukan karena jujur saja aku selalu merasa risih jika kehadiran Pan selalu mendatangkan sosok itu, Nina.
Gadis yang bernama Nina itu tidak merasa terancam dengan perkataanku. Ia tetap bersikap buruk. Baik dalam bentuk fisik maupun verbal. Contohnya sengaja menabrakku ketika berpapasan, atau berbicara yang tidak-tidak tentangku bersama temannya. Ku rasa untuk usia delapan belas tahun yang Nina lakukan sungguh kekanak-kanakan. Kadang aku suka berpikir, sebenarnya apa salahku hingga membuat Nina sebenci itu?
Aku sempat bercerita tentang hal ini kepada Pan ketika kami berangkat ke kampus. Responnya sungguh mencengangkan. Ia tak percaya dan menganggapku sebagai seseorang yang drama. Lain kali aku harus mengajak Alina untuk menjelaskan apa yang Nina lakukan terhadapku kepada Pan.
"Mau mencoba memotret?" Tawar Alina. Ia menyerahkan kameranya padaku.
"Aku tidak mau merusaknya, Lin."
"Satu jepretan tidak akan membuatmu merusaknya."
"Baiklah." Nadaku terdengar seperti menyerah.
Aku mencoba membidik Pan dengan kamera Alina. Jika ada Adam disini, pasti aku akan mencoba membidiknya. Oh ya mengenai Adam, kami saling bertukar nomor. Ia sangat bersemangat ketika menceritakan serial kesukaannya. Sebelumnya aku tidak terlalu mengikuti serial tersebut, tapi karena Adam menyukainya aku dengan semangat kembali menontonnya.
Hasil jepretanku terlihat begitu buram. Aku baru tahu memakai kamera dslr ternyata sesulit itu. Karena tidak tertarik untuk mengulangnya, aku segera mengembalikan kamera tersebut kepada sang pemilik.
"Tidak buruk." Komentar Alina membuatku berdecak.
"Kau tidak jago dalam hal berbohong, Alina."
"Iya. Aku tidak jago kalau soal berbohong, tapi suatu saat kau akan akui kehebatanku dalam merahasiakan sesuatu."
Ia tertawa. Memperhatikan Alina tertawa membuatku semakin sadar bahwa temanku ini memang terlihat begitu sempurna. Rupa yang cantik, hati yang baik, dan sikap yang bijaksana. Aku masih heran kenapa gadis sesempurna Alina memilihku sebagai temannya. Padahal ia lebih pantas berteman dengan Nina dan sekelompok mahasiswa tenar lainnya yang bergaya hypebeast.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Pam!
Teen Fiction"Kalau memang jatuh cinta semudah itu, sudah ku lakukan sedari dulu." Sebuah kisah tentang Pam, gadis yang selalu menjadi bayangan dari kembar fraternal-nya, Pan. Pan tumbuh menjadi laki-laki yang banyak di kagumi oleh kaum hawa, sedangkan Pam menga...