#3 Teman Baru

6 2 0
                                    

Aku tidak begitu ingat kapan kejadian itu terjadi. Kalau tidak salah hari kamis setahun yang lalu. Pak Adam memanggilku kedalam ruangannya. Ku dapati ia sedang membolak-balik halaman tugas literatur-ku.

"Permisi, Pak."

Mendengar suaraku, ia segera menutup lembaran kertas itu dan menaruhnya di atas meja. Hari ini Pak Adam tampak sangat maskulin dengan sweater dengan kerah turtle neck dan blazer sebagai outer-nya.

"Oh, Pam. Silahkan duduk."

Sepertinya aku tahu tujuan Pak Adam memanggilku ke ruangannya. Pasti karena tugas literatur-ku.

"Pam, aku sangat menyukai literatur-mu."

Pak Adam tersenyum padaku, aku refleks menunduk malu. Baru kali ini aku saling bertatapan dengan seorang laki-laki, meski itu adalah dosenku sendiri.

"Tapi yang ku butuhkan adalah kerja sama. Kenapa kamu mengerjakan ini sendiri?"

Tuh kan sudah kuduga dia akan membahasnya.

Aku menggigit bibir bagian bawah, ragu untuk menjawab. Tidak mungkin aku menjawab bahwa aku tidak memiliki teman di kelas. Itu akan terdengar sangat konyol meski pada faktanya memang begitu.

"Apa menurutmu berbaur adalah hal yang sulit?"

Pak Adam memajukan posisi duduknya sehingga kami semakin dekat. Aku sedikit tersinggung dengan perkataannya. Apakah berbaur adalah hal yang sulit? Tentu saja iya! Tidak semua orang bisa begitu mudah kenal dan akrab dengan orang lain. Tidak semua orang bisa memiliki teman. Tidak semua orang menganggap bahwa seseorang berhak untuk diperlakukan sama dengan orang lain.

Dan aku adalah korban dari ketidak semuaan tersebut.

Perubahan ekspresiku menyadarkan Pak Adam. Ia refleks menyingkan kedua tangannya membentuk huruf X.

"Pam, maaf. Aku tidak bermaksud menyinggungmu." Katanya seraya memajukan posisi duduk agar lebih dekat denganku. "Percayalah, kamu ini seseorang yang pintar. Teman sekelas pasti membutuhkanmu."

Aku tertegun. Baru pertama kali ada orang yang memujiku pintar. Terlebih orang yang menyebutkan hal tersebut adalah dosenku sendiri.

"Entahlah, menurutku untuk berinteraksi dengan orang lain adalah hal yang sulit."

Lebih tepatnya aku menghindari cemoohan orang yang berinteraksi denganku. Diam saja mereka sudah mengolok-olok, apalagi aku mencoba dekat dengan mereka.

Pak Adam menyingkirkan barang-barang yang ada di mejanya. Sebelah tangannya ia lipat diatas meja, dan tangan yang satunya menumpu dagu lancipnya.

"Mau dengar ceritaku?" Tawar Pak Adam yang tak bisa ku tolak. "Ketika aku seusiamu, aku menghabiskan waktu dengan belajar dan menganggap semua orang itu tak pantas berteman denganku. Pemikiran bodohku membuatku menjadi seseorang yang individualis."

Mendengar potongan cerita Pak Adam mengingatkan aku kepada Pan.

"Dan pada akhirnya aku menyesal tidak bisa menikmati masa mudaku. Aku tidak ingin kau seperti aku, Pam."

"Tapi menurutku kau tetap terlihat muda, Pak."

"Well, sebenarnya usiaku masih seperempat abad. Tapi otakku terlalu kolot untuk usia ini."

Aku memutar otak. Berapakah usia Pak Adam jika diumpamakan dengan istilah seperempat abad? Dua puluh lima tahun? Yang benar saja! Dia adalah dosen termuda yang pernah ku temui! Tak salah ketika pertama kali bertemu aku beranggapan dia lebih pantas dipanggil 'Kak' ketimbang 'Pak'.

"Pam.." Ia memanggilku dengan lembut seraya menepuk-nepuk penggung tanganku. "Jika menurutmu berteman adalah hal yang sulit, kamu bisa menganggapku sebagai temanmu. Usia kita tidak terlalu jauh, kan?"

Hello, Pam!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang