#2 Pelajaran Tentang Cinta

12 2 0
                                    

"Hello, stupida!" Pan menampakan wajah di balik kaca mobilnya. Ralat. Mobil kami.

Saat ini aku sedang dalam perjalanan menuju kampus. Tak diduga Pan menghampiri adiknya yang malang -karena harus menggunakan kendaraan umum untuk sampai ke kampus- di persimpangan jalan. Menurutku kejadian ini merupakan sebuah kebetulan, karena aku tahu Pan tidak seniat itu menghampiriku untuk memberikan sebuah tumpangan.

"Maaf, tuan. Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?"

"Sepertinya, iya."

"Benarkah? Dimana?"

"Rumah."

Bodoh. Sebenarnya aku tidak mengerti apa yang sedang kami lakukan.

"Kamu terlihat sangat menyedihkan, stupida. Berjalan sendiri mengingatkanku pada waktu kita berusia delapan belas."

Aku melanjutkan perjalananku, mengabaikan orang yang baru saja menggiring pada era dimana aku terkenal dengan predikat loser, weird, dan predikat dengan konotasi buruk lainnya.

"Kau mengabaikanku?"

Pan berusaha menyeimbangkan langkahku dengan mobilnya.

"Kamu terlalu banyak bicara, Pan. Terkadang aku rindu dengan ketidak-banyak omonganmu ketika kita berusia 18."

"Oh, kamu sungguh menyakitiku dengan perkataanmu."

Pan terkekeh. Melihat ekspresinya, ia sama sekali tidak terlihat seperti orang tersakiti. Mungkin ia anggap perkataanku hanyalah sebuah lelucon. Padahal aku mengatakan yang sebenarnya, aku lebih menyukai kembaranku yang tidak terlalu banyak bicara seperti sekarang.

"Sebagai kapten futsal seharusnya kau malu, mencoba menandingi langkahku dengan sebuah mobil? Sangat atletis."

"Naiklah." Pan mengalah untuk berdebat denganku.

"Kau sudah tahu jawabannya, aku tidak mau karena aku tahu tujuanmu sebelum menuju kampus."

Ia menghela napas. Terlalu malas untuk mengikuti topik pembicaraan yang selalu ia hindari ketika bersamaku.

"Setidaknya aku sudah mencoba menjadi kakak yang baik." Katanya pada diri sendiri sebagai ungkapan menyerah.

"Jika kamu ingin menjadi kakak yang baik, seharusnya kamu tidak perlu kencan dengan gadis jalang."

Pan menghentikan mobilnya secara mendadak. Ia pasti terkejut dengan perkataanku yang tidak sopan.

"Kamu keterlaluan." Ia membuka pintu mobil dan menghampiriku. "Kamu boleh membencinya, tapi kamu tidak berhak menghinanya seperti itu."

Pan menatapku dengan tatapan seakan ingin menghabisiku saat itu juga. Aku yang tak mau kalah, membalasnya dengan tatapan muak. Ya, aku memang terlalu muak. Pan tak selamanya menjadi laki-laki pintar, ia memiliki celah untuk menjadi seseorang yang bodoh. Dalam memilih gadis yang ia kencani contohnya.

"Ah, aku sangat menyesal menggambarkan kakak iparku dengan image seperti itu." Ucapku dengan ekspresi yang terlalu dibuat-buat. "Maaf."

"Aku tahu kamu sama sekali nggak menyesal mengatakan itu." Pan menggengam lenganku sangat keras seperti berusaha untuk memutuskannya. "Jaga ucapanmu."

Aku tersenyum. Pan benar-benar menunjukan sisi kebodohannya.

"Nggak berhasil, ya?"

"Maksudmu?"

"Padahal kakak ipar sendiri yang mengajarkan aku bahwa segala permasalahan bisa diselesaikan dengan kata maaf."

"Ayolah, stupida. Kita sudah membahas ini selama satu tahun."

Hello, Pam!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang