◽◾◽
Kau mungkin akan merasakan bagaimana berharganya sesuatu itu, setelah kehilangannya.
~Don't Forget - Ikon~
◽◾◽
"Hahh!" helaan napas terlontar dari bibir tipis Andara. Entah sudah keberapa kali dia menghela napasnya dengan kasar.
Ini sudah pukul tujuh lebih lima menit, dan dia masih ditahan di tengah lapangan dengan beberapa siswa yang bernasib sama dengannya. Terlambat di hari rabu yang cukup terik. Oke, sepertinya hari ini kedua kalinya dia terlambat di minggu ini. Jadi, sebenarnya ia sudah siap saja kalau akan mendapatkan ceramah gratis lagi dari Bu Fitri.
"Lima puluh enam siswa sekaligus dalam satu hari. Kalian niat sekolah tidak?!" tuh 'kan, baru saja Andara membatin, suara keras Bu Fitri yang dibantu dengan pengeras suara itu bergema nyaring di lapangan yang terasa sangat panas karena matahari di akhir bulan April yang cukup panas.
Bu Fitri di bantu dengan beberapa guru kesiswaan mulai mengecek siswa yang berbaris—tidak rapi sebenarnya—di depan tiang bendera. Tak biasanya memang, hari ini banyak sekali siswa yang terlambat. Biasanya paling banyak hanya akan ada sekitar duapuluhan siswa yang terlambat. Entah karena apa, hari ini bahkan dua kali lipat dari biasanya.
Andara mendesah pasrah. Di depannya kini telah ada Bu Fitri dengan wajah yang setiap dia terlambat pasti melihat wajah memerah penuh emosi milik Bu Fitri. Bersiap saja, Andara yakin sebentar lagi Bu Fitri akan menceramahinya.
"Andara!" panggil Bu Fitri menahan emosi.
Andara tersenyum tanpa dosa pada Bu Fitri, menampilkan deretan giginya yang rapi. "Hehehe. Saya, Bu." katanya.
"Astaga, bisa mati muda saya ngurusin kamu terus," gerutu Bu Fitri.
"Kalau Ibu gak mau mati muda, ya jangan ngurusin saya, dong. Saya gak perlu diurusin soalnya saya sudah besar bisa ngusrus diri saya sendiri," sahut Andara dengan santainya.
Bu Fitri hanya menghela napasnya. Meredakan emosinya yang sudah sampai ubun-ubun. Harus sabar kalau menghadapi murid seperti Andara.
"Kalian semua tulis nama kalian di kertas, lalu baris diam di sini sampai jam pelajaran kedua selesai!" perintah Bu Fitri.
"Iya, Bu." jawab mereka serentak.
"—Kecuali untuk Andara dan Levin!" sela Bu Fitri segera.
Andara mengernyit. Levin? Ah iya, Levin yang itu. Levin mana lagi di sekolahnya kalau bukan Levin yang itu. Sebenarnya Andara dan Levin itu tak jauh beda. Suka sekali terlambat. Seminggu saja tidak terlambat rasanya seperti tak makan. Lapar.
"Loh? Kenapa, Bu?" terdengar suara berat yang menyahut. Andara yakin, itu pasti suara Levin. Sepertinya lelaki itu berada di barisan belakang. Pantas saja Andara tidak melihatnya.
"Sudah sebulan ini kalian terlambat lebih dari lima kali. Jadi, kalian akan ada hukuman lainnya yang berbeda." jawab Bu Fitri.
Andara mengernyitkan dahinya. Apa benar selama sebulan ini ia sudah terlambat sepuluh kali? Andara tak yakin.
"Kok gitu sih, Bu? Gak adil itu, mah!" sela Andara.
"Adil, Andara! Yang lainnya bahkan tak sampai lima kali terlambat. Sedangkan kalian berdua—" Bu Fitri menjeda ucapannya. Dilihatnya Andara, kemudian beralih melihat Levin yang berada di belakang. "—Lima kali dalam sebulan itu kalian bisa mendapat poin 25." sambungnya kemudian.
Andara terdiam. Memilih mengalah saja daripada memperpanjang perdebatan dengan guru konselingnya itu. Tiga tahun bersekolah di sana, Andara sudah hafal betul bagaimana mengerikannya Bu Fitri ketika sedang marah.
"Andara dan Levin, kalian berdua ikut saya!" perintah Bu Fitri mutlak. Andara maupun Levin hanya bisa mengikuti Bu Fitri dari belakang.
◽◾◽
Andara dan Levin saling beradu pandang dengan tatapan heran. Keduanya sama-sama tak mengerti kenapa Bu Fitri membawa mereka ke lapangan indoor sekolah.
"Pssstt!" desis Levin mencoba memanggil Andara yang masih berjalan dengan tenang di belakang Bu Fitri.
Andara menatap Levin kemudian. Dagunya ia angkat sebagai isyarat mengatakan 'Apa'.
"Kenapa Bu Fitri ngajak kita ke lapangan indoor? Mau ngajak kita main basket?" bisik Levin pada Andara.
Andara sontak memukul belakang kepala Levin. Yang dipukul hanya mendesis sakit kemudian mengusap belakang kepalanya yang berdenyut.
"Jangan ngelawak! Mana mungkin Bu Fitri ngajak kita main basket. Udah tua mau main basket nanti dia malah encok lagi," balas Andara.
Levin menyengir tanpa dosa. "Siapa tau, kan? Lagian buat apa dia ngajak kita ke sana kalau bukan main basket?" sambung Levin.
Andara mengendikkan bahunya acuh. "Gue gak tau. Tapi kenapa perasaan gue gak enak, ya?" kata Andara.
Levin menganggukkan kepalanya. "Gue juga ngerasa gak enak. Bu—"
"Jangan banyak bicara! Saya dengar ya, obrolan kalian." sela Bu Fitri dengan suara tegas.
Levin menggaruk tengkuknya. Ketahuan ternyata dia sedang berbisik-bisik dengan Andara. Mengumpat dalam hati, kenapa pendengaran Bu Fitri terlalu tajam. Oh, atau suaranya yang terlalu keras?
"Goblok, lo!" desis Andara berbisik yang masih bisa Levin dengar.
"Gue goblok berarti lo juga goblok lah. Kita goblok harus sama-sama." balas Levin dengan santai.
"Anjir, lo. Mana bisa kaya gitu, bangsa—!"
"Andara! Jangan mengumpat!" sela Bu Fitri dengan suara tingginya. Astaga, telinga Andara serasa akan pecah kalau seperti itu.
"Your mouth, girl." kata Levin berbisik. Andara hanya mendengus sebal membalas perkataan Levin.
Ketiganya sampai tepat di tengah lapangan indoor. Di depan Andara dan Levin sudah ada dua kain pel, lengkap dengan dua ember air dan dua botol sabun lantai. Keduanya mengernyit bingung. Untuk apa perlengkapan pel itu?
Levin yang merasa perasaannya tak enak pun berkata, "Bu, buat apa—"
"Kalian harus mengepel lantai lapangan indoor ini. Mengelap semua kursi di sini agar tak kotor. Setelah selesai, kalian tidak boleh kembali ke kelas." sela Bu Fitri.
Andara membelalakkan matanya. Mengepel lantai lapangan indoor yang besarnya bahkan mengalahkan lapangan outdoor? Apa guru konselingnya itu tak salah? Andara bisa pingsan kalau hukumannya seperti ini.
"Bu, kalau kita gak kembali ke kelas, terus kita mau kembali ke mana?" tanya Levin bingung.
"Kalian ke ruangan saya. Orang tua kalian hari ini juga akan saya panggil." jawab Bu Fitri, kemudian berbalik meninggalkan Andara dan Levin yang masih membelalakkan kedua mata mereka lebar - lebar.
◽◾◽
Republish | Edited
21 July 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Unpredictable Love
Teen FictionPada akhirnya, mereka tak pernah tau pada siapa hati mereka akan menetap. Mereka tak pernah tau hati mereka sebenarnya untuk siapa. Mungkin mereka telah menemukan masing - masing pujaan mereka. Tapi hati siapa yang tahu kemana dan pada siapa akan me...