Fourteen • Another

66 9 0
                                    

◽◾◽

Bukan seperti ini inginku. Debaran jantung yang menggila ini tak seharusnya kurasakan (lagi).

◽◾◽

Alana berjalan dengan riang sambil membawa paper bag berisi dua kotak bekal dan dua botol air mineral. Rencananya, dia ingin makan siang bersama Levin dan Andara. Jadilah, dia mendatangi kelas Andara dan Levin yang kebetulan satu kelas.

Namun ketika dia sampai di depan kelas, Alana tak menemukan Andara dan Levin berada di sana.

Ia berjenggit terkejut ketika bahunya terasa di tepuk. Alana membalikkan badannya kemudian. Dilihatnya seorang laki-laki yang selama beberapa minggu ini ia ketahui bernama Firgo. Laki - laki yang selama beberapa minggu menjadi topik utama yang membuat saudari kembarnya itu marah-marah dan mudah emosi.

"Siapa?" tanya Firgo.

Alana sedikit terkejut ketika mendengar suara berat Firgo yang mengalun. "Alana. Adik kembarnya Andara." jawab Alana dengan sedikit tersenyum canggung.

Firgo mengernyit. "Gak mirip tuh lo sama Andara." katanya sambil memperhatikan Alana dan sekilas membandingkannya dengan Andara.

"Kami kembar tak identik. Jadi gak mirip," balas Alana.

Firgo tampak menganggukkan kepalanya. "Cari Andara?" tanya Firgo.

"Iya. Gue cari Andara sama Levin. Mereka kemana, kok gak ada di kelas?" balas Alana.

Fero memicingkan matanya menatap Alana. "Levin? Lo pacarnya Levin?" tanyanya curiga.

Astaga, Alana sangat malu sekali. Bagaimana ini, apa yang harus Alana katakan pada Firgo? Rasanya pasti akan sangat malu kalau ia berkata bahwa dirinya memang pacarnya Levin.

"Gu—"

"Gak usah dijawab. Gue tau kalau lo pacarnya Levin," sela Firgo. "Pipi lo merah ngomong-ngomong." sambung laki-laki itu.

Alana sontak memegang pipinya dengan sebelah tangannya yang tak memegang paper bag. Refleks. Astaga, laki-laki itu benar-benar penggoda ulung.

"Hahaha." Firgo terkekeh melihat tingkah malu Alana. Lucu sekali, cantik lagi, pikirnya. Berbeda sekali dengan Andara yang suka marah-marah tak jelas padanya. Adik kembarnya itu cenderung terlihat seperti seseorang yang lemah lembut. Berbanding terbalik sekali dengan Andara yang urakan seperti preman itu.

"Mereka kemana?" tanya Alana.

"Telat kayanya. Tadi gue sempat lihat mereka di lapangan bareng anak-anak lainnya yang telat." jawab Firgo.

Alana menganggukkan kepalanya. Mengerti bahwa memang Andara dan Levin gemar sekali terlambat. "Ya udah kalau gitu, gue pergi aja. Makasih, ya." kata Alana.

"Sama-sama." balas Firgo dengan senyuman tulus. Kemudian berbalik pergi keluar kelas.

◽◾◽

Badannya berkeringat parah. Rambut cokelat mahoninya lepek karena terlalu banyak berkeringat. Kakinya pegal dan kebas. Tangannya memerah karena terlalu lama menggenggam gagang pel yang permukaannya sedikit kasar.

Andara sungguh sangat lelah. Sudah lebih dari setengah lantai yang dia pel. Setengahnya lagi tadi sudah Levin pel juga. Laki - laki itu sekarang sedang duduk di salah satu bangku. Mengipas - kipasi dirinya yang sepertinya juga kegerahan dengan kertas alakadarnya yang Levin temukan saat membersihkan bangku tadi.

Oh, jangan lupakan seragam putih yang tergeletak begitu saja di kursi lainnya. Itu milik Levin ngomong-ngomong. Laki-laki itu kini hanya menggunakan kaos dalaman hitamnya saja yang sangat tipis.

Andara meletakkan gagang pelnya tepat di samping embernya dan ember Levin tadi. Kemudian menyusul laki-laki itu duduk di sebelahnya.

"Capek, Ra?" tanya Levin sambil melirik Andara yang sedang meminum air dari botol minum berwarna hijau yang dibawa perempuan itu.

"Lo pikir? Gak lihat keringat gue? Gue udah kaya mandi keringat ini." balas Andara sambil mengibaskan tangannya di depan wajahnya.

"Iya iya, gue tau." kata Levin. Ia jadi teringat kalau Bu Fitri tadi akan memanggil orangtua mereka hari ini juga. "Ra, Bu Fitri beneran panggil orang tua kita, ya?" tanya Levin pada Andara.

Andara mengendikkan bahunya. "Gak tau. Tapi kalau Bu Fitri sih, pasti beneran." balasnya.

Levin menatap Andara yang kini tengah membenarkan ikatan rambutnya yang tampak tak terikat kuat. Rambutnya mencuat kemana-mana.

Jujur saja, Andara merasa tak nyaman diperhatikan seperti itu.

"Lo kenapa, sih? Gak usah lihat-lihat! Lo nanti jatuh cinta lagi sama gue." kata Andara dengan ketus pada Levin.

Levin mendesis. "Lo tuh, ya. Cewek paling pede sedunia. Jangan kira, kalau gue lihatin lo terus, gue jadi jatuh cinta sama lo." balas Levin kemudian menyentil dahi Andara cukup kencang.

"Akhh! Levin, sakit! Tega banget lo sama gue." aduh Andara sembari mengusap dahinya yang berdenyut sakit.

"Gemes gue, sama jidat lo. Lebar banget. Gue sampai bisa main basket di dahi lo." kata Levin sampil menepuk - tepuk dahi Andara.

"Levin! Dari dulu ya, kapan lo gak ngejek jidat gue? Perasaan jidat gue gak segede itu." bela Andara.

Levin tertawa melihat Andara yang merajuk. Mengerjai gadis itu ternyata mudah sekali. Dari dulu, Andara memang selalu bersama Levin. Dari sekolah mengengah pertama dulu hingga sekarang. Orang - orang dulu bahkan mengira mereka sebagai sahabat yang susah sekali dipisahkan.

Padahal dibalik kata sahabat itu, membuat Andara maupun Levin meringis sebal. Sahabat apanya kalau saling jahil begitu.

"Udah, jangan gerutu terus. Nih, pakai seragam gue buat ngelap keringat lo. Gak basah, kok." kata Levin sambil menyerahkan baju seragamnya tadi.

"Gak, ah. Lo nanti pakai apa kalau seragam lo gue pakai buat ngelap keringat?"

Levin memutar bola matanya jengah. "Dari dulu lo susah banget sih dibilangin."

Tanpa izin, Levin mengelap keringat Andara di pelipis dan bagian wajahnya. Dengan telaten dan penuh hati-hati.

Jujur saja, hati Andara menghangat begitu saja karena perlakuan lembut dari Levin, laki-laki berdimple itu.

◽◾◽


Republish | Edited
22 August 2021

Unpredictable LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang