Twelve • Pain

83 8 0
                                    

◽◾◽

Luka yang nyata ini terasa perih. Menyayat hati hingga meremukkan akal. Menggores luka yang belum kering itu kembali terluka. Bagaimanapun caranya, luka itu memang tak akan pernah kering.

◽◾◽

Andara berjalan gontai dibawah sinar rembulan yang terlihat seperti tengah mengejeknya. Malam-malam seperti ini tak ada angkutan umum yang lewat. Berakhirlah Andara yang berjalan kaki tak tentu arah seperti sekarang. Membiarkan langkah kakinya yang menentukan sendiri kemana ia harus pergi.

Rumahnya jauh sekali perasaan. Kenapa dia tidak mencoba ke rumah Tika saja? Pasti Tika semalam sangat mencemaskannya. Salahkan saja baterai ponselnya yang habis, jadi ia tak bisa mengabari temannya itu. Bodohnya dia.

Kakinya pegal sekali. Ia sudah berjalan cukup jauh. Jarak rumahnya dengan apartemen Firgo cukup jauh. Sedangkan dirinya berjalan kaki. Kakinya terasa seperti akan putus jika ia terus berjalan.

Ia mendudukkan dirinya di trotoar yang tampak senggang tak ada yang melewatinya.

"Gila. Rumah gue masih jauh lagi. Kaki gue udah mau patah," gerutunya sembari memijat kakinya yang mulai terasa pegal-pegal.

Ditengah kegiatannya, sebuah mobil sedan hitam mengkilap baru saja berhenti di depannya.

Dia pikir, mobil itu sedang menepi di depannya karena si pengendara mungkin akan bertanya jalan padanya.

Namun rasa kagetnya datang ketika melihat seseorang yang turun dari pintu penumpang mobil tersebut. Seorang wanita dengan stiletto hitam mengkilat yang kini sudah berada tepat di depannya.

Dadanya terasa sesak. Gemuruh tak nyaman di dadanya membuatnya bernapas putus-putus.

"Dara?" panggil wanita itu dengan suara lembut, sarat akan rasa rindu.

Andara tak bergeming di tempatnya. Matanya perlahan memanas. Dadanya semakin sesak.

Wanita itu berjalan semakin mendekat pada Andara. Kemudian memeluk Andara dengan erat. Seolah-olah tak ingin Andara pergi begitu saja.

"Mama..." Lirih Andara hingga tak menyadari kedua matanya sudah basah.

◽◾◽

Tak terasa, Andara dan mamanya sampai pada rumah berpagar tinggi berwarna hitam. Itu rumahnya. Andara tak sadar kalau dia telah sampai ke rumahnya.

Ia pulang bersama mamanya karena dipaksa dengan dalih malam-malam anak gadis tidak baik pulang sendirian. Jadilah dia pulang diantar mamanya.

Suasana canggung di mobil sangat kentara sekali tadi. Andara hanya diam, enggan membuka suara. Hanya mamanya yang mencoba membuka suara, sedangkan Andara hanya menanggapinya dengan singkat.

Andara ingin sekali sebenarnya mengobrol lebih lama dengan mamanya. Tapi ada suatu perasaan yang membuatnya sangat enggan bersama orang yang telah melahirkannya itu.

Mobil itu berhenti di depan gerbang rumahnya. Tak masuk ke dalam.

"Maafkan Mama, Ra. Mama gak bisa antar kamu sampai ke dalam. Mama belum siap bertemu Ayah kamu," kata Mamanya sambil menatap penuh sesal pada Andara yang sibuk membenarkan tasnya.

"Dara turun, Ma." Pamitnya. Namun sebelum pintu penumpang terbuka, Mamanya menarik tangan Andara, kemudian menangkup pipi berisi milik putrinya itu. Mengusapnya perlahan, kemudian mengecup dahi Andara penuh kasih sayang.

"Kamu tahu kan, Mama sangat sayang sekali sama kamu dan Alana. Jangan berpikir Mama sudah gak sayang lagi sama kalian. Keadaan yang membuat kita seperti ini." kata Mamanya kemudian.

"Aku tahu." jawab Andara dengan singkat.

Mamanya tersenyum maklum. Tahu sekali kalau putrinya itu masih merasa kecewa padanya. "Mama titip salam buat Alana."

"Iya, Ma." balas Andara kemudian keluar dari mobil tersebut.

Tak lama, mobil itu pergi. Menyisakan rasa sesak di dada Andara.

"Loh, Non Dara kok di sini?" tanya Pak Harja setelah membukakan pagar.

Andara tersenyum menanggapi. "Dari kemarin saya pergi, Pak. Ke rumah teman saya. Nginep ngerjain tugas." jawab Andara kemudian tersenyum hangat.

"Kenapa gak minta antar supir, Non? Kasihan Non Dara harus jalan kaki." kata Pak Harja.

Andara menggelengkan kepalanya. "Jalan kaki lebih sehat, Pak," jawabnya. "Dara masuk dulu ya, Pak. Mau langsung istirahat," sambungnya pamit pada Pak Harja untuk masuk ke dalam.

"Iya, Non." balas Pak Harja.

Andara memang akrab dengan Pak Harja. Dengan supir pribadi keluarganya juga. Dengan para maid di rumahnya juga. Andara mudah bergaul, jadi semua orang suka padanya.

Baru saja ia akan membuka pintu, suara deru mobil membuat Andara menoleh ke belakang.

Tampak mobil yang ia hafal betul bentuknya itu berada di pelataran rumahnya.

Alana keluar dari mobil tersebut, disusul Levin yang nampak membawakan sesuatu yang Andara duga pasti milik Alana.

"Kalian dari mana?" tanya Andara heran.

"Kencan. Malam mingguan, dong. Ya kan, Vin?" balas Alana.

"Hah? Iya. Kita habis dari pasar malam, Ra," balas Levin sedikit canggung. Entah kenapa ia merasa canggung dengan Andara.

Andara tak terkejut tentu saja. Kemarin Alana juga sudah mengatakan padanya bahwa ia akan kencan bersama kekasih gadis itu.

"Lo kok baru pulang, Ra? Malam-malam gini lagi." tanya Levin.

"Ah, iya. Tika mau pergi, jadi gue pulang, deh." jawab Andara—tentu saja dengan berbohong. Tak mungkin ia akan mengatakan kalau ia menginap di apartemen Firgo dan pulang diantar Mamanya yang telah bertahun-tahun meninggalkannya itu.

"Ya udah, aku pulang dulu ya, Al. Makasih buat malam ini." pamit Levin, kemudian menyerakan sebuah boneka berukuran lumayan besar yang dibawanya tadi pada Alana.

Alana menerimanya, kemudian menganggukkan kepalanya. "Iya. Kamu hati-hati di jalan, ya." balasnya.

"Iya." timpal Levin kemudian mengecup puncak kepala Alana. Andara hampir memukul kepala Levin karena beraninya mencium kembarannya di depannya.

"Gue cabut dulu ya, Ra." pamitnya pada Andara.

"Yoi! Hati-hati." balas Andara.

"Siap!" sambil mengacungkan jempolnya pada Andara, Levin berlari kecil kemudian masuk ke dalam mobil.

"Masuk, yuk. Dingin di luar." Ajak Alana yang kemudian masuk ke dalam rumah, meninggalkan Andara yang tampak memperhatikan mobil Levin yang baru saja keluar dari gerbang rumahnya.

◽◾◽

Republish | Edited
21 July 2021

Unpredictable LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang