◽◾◽
Mereka yang kuat, adalah mereka yang tak akan menyakiti orang yang lebih lemah dari mereka.
◽◾◽
Andara sudah menghela napasnya berkali-kali. Hal itu tak luput dari perhatian Alana yang tengah mengerjakan beberapa tugasnya. Andara malam ini katanya ingin tidur di kamar Alana. Alana sih, tidak masalah. Toh, sejak bayi mereka juga selalu tidur bersama.
"Lo udah cerita sama Afira, Ra?" tanya Alana yang masih berkutat dengan laptop di hadapannya.
Andara mengangguk sebagai jawaban. Meskipun sudah bercerita pada Afira, tapi tetap saja ia merasa bersalah. "Udah. Tapi," kata Andara menjeda.
"Kenapa?" tanya Alana heran.
"Gue masih aja ngerasa bersalah sama Afira. Lo tau kan, gimana perjuangannya Afira selama ini buat Revito. Gue ngerasa jadi perusak aja. Setiap lihat binar di mata Afira karena Revito, gue ngerasa ikut senang saat dia senang, Al. Gue ngerasa bersalah banget karena udah merusak binar di mata Afira. Canggung banget gue sama dia tadi. Ya meskipun Afira gak marah sama gue, tapi tetap saja kan?" terang Andara.
Alana menghampiri Andara yang tengah berbaring sambil memeluk boneka berbentuk singa milik kakaknya itu. "Hei, jangan gitu, Ra. Fira kan juga udah maafin, lo. Jangan terlalu dipikirin," kata Alana mencoba menenangkan pikiran Andara.
"Gue cuma—takut, Al," Andara menatap langit-langit kamar Alana.
"Kenapa lo harus takut? Hei, ada gue yang selalu ada buat lo. Kalau lo merasa takut, peluk gue. Kita ada untuk saling melengkapi, Ra," kata Alana. "Sekarang cerita sama gue, kenapa lo harus merasa takut? Hmm?"
Andara menatap manik Alana yang hampir serupa dengannya itu. "Gue takut kalau gue akhirnya jadi orang yang berperan jahat di antara mereka," kata Andara. "Lo pasti ngerti maksud gue kan, Al?" sambungnya.
Ah, iya. Alana mengerti sekarang. "Masalah perasaan, ya? Gue sih gak bisa ngatur kalau itu. Perasaan siapa yang tau sih, Ra," katanya. "Tapi memang lo harus hati-hati, Ra. Batasi intensitas lo dan Revi ketemu. Sejujurnya gue—juga takut kalau apa yang lo pikirin terjadi," sambung Alana.
Andara menganggukkan kepalanya. "Gue hanya gak mau merusak semuanya, Al," kata Andara sarat ketakutan.
◽◾◽
Sore harinya, Andara sudah siap dengan setelan ripped jeans hitam ketat yang melekat indah pada kaki jenjangnya. Rambut cokelat mahoni panjangnya ia ikat kuncir kuda. Jaket jeans over size itu membungkus tubuhnya. Tak tertinggal ransel hitam yang sudah bertengger manis di belakang punggung sempitnya.
"Lo mau ke mana?" tanya Alana ketika Andara sudah berada di ruang tamu.
Andara menghela napasnya pelan. Terlalu malas untuk menanggapi pertanyaan saudara kembarnya itu.
"Gue mau ke rumah Tika," jawab Andara singkat.
"Mau nginep? Yang bener aja, nanti gue di rumah sendirian, Ra!" gerutu Alana. Jujur saja setiap kali Andara pergi, Alana selalu khawatir. Andara itu ceroboh dan mudah sakit dibanding dirinya. Tampangnya saja yang tinggi dan kuat. Tapi sebenarnya fisik dan hatinya itu rapuh.
"Biarin, dong! Gue ada perlu sama Tika hari ini. Kalau di bahas pasti lama. Jadi lebih enak juga kalau gue nginep," kata Andara sembari mencubit gemas pipi Alana. "Lagian, hari ini ayah pulang, kok. Lo gak akan sendirian di rumah," sambungnya.
"Dara, kan gue maunya sama lo. Ayah pulamg pasti juga cuma ke ruang kerja lagi," balasnya tahu sekali tentang tabiat Ayahnya yang workaholic itu. Sampai di rumah langsung mendekam di ruang kerjanya, menyelesaikan apalah itu pekerjaannya yang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unpredictable Love
Genç KurguPada akhirnya, mereka tak pernah tau pada siapa hati mereka akan menetap. Mereka tak pernah tau hati mereka sebenarnya untuk siapa. Mungkin mereka telah menemukan masing - masing pujaan mereka. Tapi hati siapa yang tahu kemana dan pada siapa akan me...