━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━
Warning.
This story contains sexual content, violence, vulgar sentences and disgusting scenes. Hopefully for underage readers or dislikes, don't read this story.━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━
Tuhan tidak pernah memberikan ujian di atas kemampuan manusia.Kalimat tersebut seringkali terdengar dan sudah menjadi hal lumrah ketika seseorang mengeluh dengan hidup. Dijadikan sebagai sebuah motivasi agar kembali berpijak ke arah yang benar. Disaat seseorang tengah dilanda keterpurukan atas garis takdir yang ia terima, maka kembali lagi ke kalimat yang di atas.
Tuhan tidak pernah memberikan ujian di atas kemampuan manusia.
Menurut Park Jiyeon, terkadang manusia kerapkali membual. Dan kalimat tersebut adalah bualan dari manusia yang berusaha menarik kesimpulan dari perspektif mereka sendiri. Kalimat itu tidak sepenuhnya benar. Jiyeon mencoba bersikap defensif, tapi takdir menjadikannya kehilangan asa. Tipuan mungkin merupakan substansi manusia yang sebenarnya. Mungkin saja.
Esensinya tidak asing, Jiyeon terlampau jauh terjerat dalam lingkaran penuh kenikmatan dan kesakitan bersamaan yang membuatnya candu. Ingin lagi dan lagi. Tapi, di sisi lainnya Jiyeon menyesali garis takdir untuknya yang bahkan harus ia lalui di atas kemampuan yang ia miliki. Jiyeon merasa skeptis. Sebab, Tuhan tidak berlaku adil padanya.
Atau, Jiyeon saja yang terlampau mudah di bodohi?
Terlampau mudah percaya dengan sosok baru,—terhitung waktu satu minggu, Jiyeon menaruh kepercayaan besar padanya dan menarik kesimpulan sendiri, tiga ratus enam puluh derajat—hidup Jiyeon berubah hanya dalam sekejap mata.
Salah langkah, maka bersiap untuk salah arah.
Kehidupan damai hanyalah tinggal nama yang telah berubah menjadi kumpulan debu. Hilang tak bersisa lantaran di hempaskan angin. Kemudian, terlupakan.
Barangkali Jiyeon harus mencerna kata bahagia dalam hidupnya. Sebab, sejak hari itu Jiyeon tidak pernah merasakan arti dari bahagia tersebut. Kebohongan dunia yang tersaji membuatnya lupa. Jika pada dasarnya manusia itu cerdik, pandai menipu, memanipulasi, dan suka berbohong.
Eksistensinya yang semula begitu di puja dan di dambakan, kini Jiyeon mulai meragukan. Sebab, tidak semua manusia patut untuk diperlakukan demikian. Jangan pernah menilai sesuatu dari sisi luarnya saja. Kendati ia sudah menyimpan baik-baik petuah tersebut, namun di luar kendali manakala ia menjadi bodoh, dan lupa akan mana yang benar dan mana yang salah.
Suara yang semula manis dan tulus kini berubah menjadi bentakan dan umpatan kasar hanya dalam hitungan detik. Perhatian dan kehangatan yang disalurkan pun ikut berubah menjadi perlakuan kasar yang tidak layak disebut sebagai manusiawi—lebam dan memar kebiruan, sudah menjadi makanan sehari-hari untuk tubuh Jiyeon. Sentuhan yang semula menyejukkan dan penuh kenikmatan, kini berubah menjadi pukulan dan penuh kesakitan.
Heck, benar. Pada dasarnya dunia memang kejam. Semua bersifat fana.
Eksistensinya yang semula Jiyeon puja, damba, agungkan, dan teristimewa. Bak hilang di telan bumi. Substansi yang sebenarnya telah di tunjukkan. Dan Jiyeon terlampau buta untuk mengetahuinya sedari awal. Semuanya memutar arah dan bertolak belakang, tak bersisa dan meninggalkan jejak barang sedikitpun untuk Jiyeon jumpai—barangkali Jiyeon mencoba untuk membawanya pulang, membawa kembali sisi hangatnya.
Faktanya, Jiyeon tidak bisa.
Tidak sama sekali.
Dunia luar sudah menjadi objek asing yang akan di terima sejak hari itu ia kunjungi. Pun Jiyeon jadi ragu akan dapat melihat dunia luar lagi sebelum ajal menjemputnya. Pijakan kakinya tak seluas dulu, Jiyeon berporos pada satu titik yang sudah mengikatnya,—sudah mengklaimnya.
Semakin hari esensi Jiyeon yang dihadirkan jadi skeptis, apa ia masih bisa disebut sebagai manusia. Tubuh mengurus, pertumbuhan terhambat, wajah sayu dan tak ada binar kecerahan lagi di sepasang manik cerah kecoklatannya. Manik itu redup, lebih suka menampilkan tatapan kosong dibandingkan kehidupan di dalamnya. Karena pada dasarnya, Jiyeon memang sudah mati.
"Melamun lagi?"
Bagaikan suara malaikat pencabut nyawa, reaksi yang Jiyeon berikan selalu sama. Terkejut luar biasa dan ekspresinya berubah tegang. Saliva di teguk kasar untuk mengaliri kerongkongan yang tercekat, pun jantungnya berpacu abnormal kendati Jiyeon sudah berusaha untuk meredamnya.
Shit!
Belaian halus permukaaan tangan dari lawan bicara refleks membuat Jiyeon memejam erat. Bukan menikmati, melainkan merasa di takuti.
"Sudah makan?"
Maka, Jiyeon mengangguk cepat demi menyudahi konversasi dengan atmosfir tidak mengenakan ini. Berbohong demi menghindari hal buruk.
Tapi, agaknya Jiyeon justru menjerumuskan dirinya ke lubang yang salah—lagi. Ketika sosok yang di damba kembali mengajukan pertanyaan yang membuat Jiyeon bungkam.
"Kau berbohong padaku?" Kepalanya meneleng ke kiri, sebelah alis menjungkir ke atas—definisi seorang penguasa. "Lalu apa yang kau buang ke tong sampah dapur dan bilang padaku bahwa kau sudah makan? Kau yang makan atau tong sampah yang kenyang?"
Tidak. Tidak. Tidak.
Maaf, maafkan aku.
Pandangan tegangnya beralih menunduk dalam,—merasa bersalah.
"Ma-maafkan aku."
Suara serak si gadis terdengar begitu pilu dan menyedihkan. Dipaksa berteriak setiap hari bukanlah hal yang bagus untuk ia lakukan. Berteriak demi melantunkan irama kepuasan agar semangat yang membakar hadir untuk dapat meraih puncak dengan cepat.
Well, nafsu seks seseorang memang berbahaya.
Kim Taehyung tak kunjung menarik tangan kokohnya untuk menyusuri permukaan wajah sang jelita. Sepasang obsidiannya terperangkap lagi dalam pesona Park Jiyeon. Sebab, Jiyeon sering membuat dirinya hilang kendali. Dan oleh karena itu, posisi sang jelita harus di waspadai.
Adalah Jiyeon yang menjadi kelemahan seorang Kim Taehyung.
Manik cerah kecoklatan gadis itu sering memenjarakannya dalam balutan keindahan surga dunia, membuat Taehyung ingin lagi dan lagi. Sisi sebenarnya pun tumbuh menjulang tinggi untuk segera di kembangkan. Park Jiyeon sukses menjadikan Kim Taehyung kembali ke lubang api penuh kenikmatan itu lagi. Hanya karena nama sang jelita, Taehyung kehilangan arah. Hanya karena paras sang Dewi, Taehyung berubah.
Melangkah memutar untuk kembali ke penjara yang sama, dan tak ingin merasakan kebebasan yang sebenarnya.
Maka, yang di lakukannya untuk memberikan hukuman setimpal adalah—
"Persiapkan dirimu seharian ini untuk memuaskan ku di atas ranjang, Kim Jiyeon. Tak ada bantahan. Jika kau pingsan kehilangan tenaga, bersiap untuk hukuman berat berikutnya."
Kim Taehyung adalah maniak seks tingkat akut.[]
Luv Tii
KAMU SEDANG MEMBACA
Prisionero [M] ✓
Fanfiction[DIBUKUKAN; Discontinue] [E-BOOK BISA DIBELI KAPAN SAJA] Park Jiyeon hanya menginginkan satu harapan yang benar-benar akan membawanya kepada suatu kebebasan mutlak dari cara kerja dunia yang kelewat kejam ini. Maka, diantara ketiga itu, siapa yang l...