30 : Slumped Down

1K 127 3
                                    

Park Jiyeon sadar, bahwa eksistensinya tidak terlalu berarti untuk berpijak dan menjalani kehidupan di dunia. Sebab, Jiyeon bukan siapa-siapa. Tidak ada keistimewaan dalam dirinya, tidak memiliki harta yang banyak, dan tidak pula begitu teramat penting untuk didamba.

Namun, kendati begitu bukan hak siapapun untuk menghina entitasnya. Gelimang harta dan tingginya tahta bukanlah menjadi penyebab utama seseorang yang teristimewa. Sebab, itu bukanlah kepemilikan yang kekal.

Jiyeon lelah mendengar semua cibiran dunia yang ditujukan untuknya. Cemoohan dunia yang tiada henti terngiang-ngiang dalam benaknya. Menganggu bunga tidur yang semula sangat indah kini berubah kelam. Pun Jiyeon mulai membenci bunga tidur lantaran dunia kini telah mengambil alih. Jiyeon merasa muak dengan substansi dunia yang tidak pernah berlaku adil untuknya—muak atas semuanya.

Pun, Jiyeon mulai muak dengan kehidupannya.

Berjuang pun tidak akan ada artinya sebab pada dasarnya Jiyeon lemah. Bersikap defensif pun juga akan terlihat percuma. Sebab, Jiyeon lelah. Berlari terus berlari entah kemana tujuan yang pasti. Dunia seolah mempermainkan dirinya yang hidup seorang diri. Pun mengadu akan pada siapa.

Jiyeon tidak tahu.

Sepasang telapak kakinya berhenti untuk membuat jarak pada permukaan aspal panas yang menembus epidermis terlampau dalam. Nafas Jiyeon terengah-engah dengan wajah kusut tak karuan. Lagi dan lagi air mata itu luruh ketika benaknya mengingat takdir menyedihkan yang ia jalani.

Maka, Jiyeon mendongak. Maniknya memancarkan amarah yang membludak begitu ingin dilepaskan pada esensi cakrawala di atas sana. Menentang semesta yang terlihat menertawakan kehidupan pedihnya. Melawan alam yang kerapkali berlaku tidak pada semestinya. Pun sepasang tangan ringkih itu terkepal menunjukkan urat nan samar-samar. Berharap ada kekuatan yang datang menerjang bagaikan hembusan angin tiada henti menerpa tubuhnya.

"Aku membenci kalian."

•••

Stagnan. Degup jantungnya beradu dengan ritme abnormal. Seokjin terdiam memandangi sudut kamar Jiyeon yang kosong melompong. Tidak ada kehidupan tepat saat Seokjin berniat untuk membangunkan sang dara dan mengajaknya sarapan. Lantas, tidak ada jawaban. Pantas saja, sebab Jiyeon telah menghilang.

Menghembuskan nafas pelan, Seokjin berkacak pinggang dengan berbagai pikiran buruk yang datang melanda. Satu hari sebelumnya Seokjin telah menghubungi sang tunangan. Tak dapat terelakkan lagi jika rasa khawatir dalam dirinya telah melampaui kadar batasan yang ditentukan.

"Aku baik-baik saja, Seonie. Kenapa suaramu terdengar panik begitu?"

Seokjin mengulum bibir saat Nana mengajukan pertanyaan. Merangkai kalimat dalam kepala untuk diungkapkan sebagai balasan. Seokjin bingung akan berkata apa.

"Tidak. Tidak apa." Setelah terdiam lebih kurang satu menit, Seokjin bersuara tenang. "Aku hanya merindukanmu. Itu saja."

Terdengar kekehan ringan di seberang. "Kau tidak perlu khawatir. Bukankah sebentar lagi kita akan menikah? Bersabarlah, hm."

"Iya, aku sudah tidak sabar menyerangmu nantinya."

"Hei! Dasar mesum."

Suara girang Nana sejemang membuat perasaan Seokjin lega. Taehyung ternyata belum beraksi sesuai pesan singkat yang ia buat. Kendati begitu, Seokjin tidak tahu kapan pastinya manusia berotak dangkal seperti Taehyung itu menyerang. Sebab, Taehyung itu sulit diterka. Substansinya kelam dan samar-samar—tidak terbaca oleh siapapun.

Maka, Seokjin hanya bisa menarik nafas dalam-dalam untuk kesehatan paru-parunya yang beberapa hari ini terasa janggal. Mengasakan kepada Tuhan bahwa kehidupan yang ia impikan bersama Nana terwujud pada semestinya.

Prisionero [M] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang