1. Konya dan Eksistensinya

375 15 2
                                    

Adalah penghianatan, sedetik saja tanpa melibatkan tuhan.

🍄🍄

Hidup adalah serangkaian perjalanan, yang membawa manusia dari satu titik menuju titik lainnya. Setiap titik saling berhubung, membentuk garis kehidupan yang di tetapkan.

Ia paham, bahwa segala yang terjadi adalah kehendak tuhan yang pasti. Namun memahami realitas bukanlah suatu hal yang mudah dijalani. Hingga kerapkali menciptakan persepsi untuk menyalah semua yang terjadi di hari ini.

Dan sekarang seorang remaja ber-Hoodie hitam serta sarung maroon, tampak berdiri di samping jendela. Kedua matanya menatap suasana luar yang tampak indah dengan kerlap kerlip lampu dari bangunan-bangunan kota.

Beberapa bangunan yang sebelumnya tampak tua dengan warna coklat muda, kini tampak lebih megah dengan lampu lampu yang menyala. Di kejauhan tampak menara hijau berdiri tegap diapit menara dan kubah Mavlana Museum. Suasana ini lebih menarik minat remaja bernama Altaf Muzaki Ast-tsaqafi itu, di bandingkan hanya duduk, mendengarkan musik dan melihat media sosial.

Setelah menghabiskan empat hari di Konya untuk berziarah di makam Maulana Jalaludin Rumi, mengunjungi museum dan beberapa masjid di Turki. Sekarang mereka menginap di Rumi hotel, yang hanya berjarak ratusan meter dari Museum.

"Kamu nggak papa, Al?" Tanya Mariyah pada putra semata wayangnya, yang sejak tadi hanya termenung di dekat jendela.

"Nggak apa apa kok, Mi." Ungkap Altaf, masih pada posisinya.

"Sejak kemarin kamu cuma diem aja, beneran nggak ada apa apa?" Sang ibu kembali bertanya, seakan tak yakin dengan jawaban putranya.

"Apa aku boleh pindah pesantren, Mi?" Lelaki menoleh, menatap wajah ibunya yang terduduk di sofa.

"Sekarang, tahun terakhir kamu di sana. Kamu nggak sayang?". Mariyah bangkit dari duduknya, dan berjalan mendekati Altaf.

"Nggak. Besok kita pulang, bentar lagi kegiatan pondokmu mulai aktif," Tolak Yusuf-- sang ayah, yang tiba tiba muncul dari balik pintu kamar.

Terdengar suara hembusan nafas dari laki-laki berumur 18 tahun itu. Ia kembali menatap keluar jendela, tanpa menjawab apa apa.

"Kamu udah berhasil jalanin dua tahun, Al. Apa untuk menahan satu tahun lagi itu masih berat?" Tanya Yusuf, yang kini duduk di sofa.

"Keinginanku bukan Ihya', Bi. Jadi bukannya wajar jika aku nggak betah di sana?" Tegasnya. Mungkin ini telah melewati batasannya, tapi memang kenyataan bahwa itu bukan keinginannya.

"Al, Semua pesantren itu sama!" Tegas Yusuf, yang kokoh dengan pendapatnya.

"Sama, menurut Abi." Gumamnya, lalu beranjak keluar kamar.

"Al!" Yusuf mendesah pelan saat pintu kamar kembali tertutup. Ia tak mengerti apa yang di pikiran putranya saat ini.

🍀🍀

Di tepi jalanan Aziziye Mah, Mevlana Cd, Altaf duduk menatap kubah museum yang menjulang tinggi di hadapannya. Hawa malam di Turki hari ini terasa sedikit lebih dingin, terpaksa membuat Altaf melilitkan kain sorban di lehernya.

Dilahapnya kebab yang di belinya beberapa menit yang lalu, sembari menikmati malam terakhirnya di kota Sang Sufi, Maulana Rumi.

Tak heran jika kota ini sering di sebut sebagai kota santri-nya Turki, sebab begitu tempat ini begitu kaya dengan sejarah kejayaan Islam di masa lampau. Konya merupakan salah satu dari kota yang menyimpan banyak sejarah peradaban kuno, yang memberikannya atmosfer sebagai kota museum. Dan itulah yang membuat Altaf begitu ingin menetap di tempat ini sedikit lebih lama.

Dalam satu syair Rumi menjelaskan bahwa, puncak tertinggi cinta adalah ikhlas. Dan sungguh, Altaf belum mampu untuk sampai pada titik sosok yang dikaguminya maksud. Terlalu rumit. Bahkan setiap detik dan menit masih membawanya pada keluh kesah dikala mimpi yang terlanjur di bangunnya, jauh dari kata tercapai.

Altaf mendesah pelan. Ia sangat membenci kondisi ini. Ketika pikiran dan hatinya masih terpenjara dengan mimpi yang di angan-angan. Namun, bagaimana pun juga ia tak boleh egois. Ia adalah putra tunggal, dan sudah menjadi tugasnya untuk mewujudkan mimpi kedua orang tuanya. Bagaimanapun, besok ia harus pulang dan menuntaskan sekolah menengah atasnya, lalu mencoba meraih sebagian dari sisa mimpinya.

🍀🍀

Gumpalan awan membentang luas, mengapung di langit biru. Suasana daratan Turki masih dapat di lihat Altaf diluar jendela pesawat.

"Setelah ini kita langsung ke rumah Abah," pernyataan Yusuf dari kursi sebrang, membuat Altaf secara reflek menatap ayahnya intens.

"Bi, nggak terlalu terburu-buru?" Tanya Mariyah, yang duduk di samping putranya.

"Nggak, Kita istirahat bentar di sana, " Mariyah yang mendengar jawaban suaminya hanya mampu terdiam.

"Nanti izin ke Abah dulu aja," Altaf diam, tak merespon. Sejauh ini, ia tak pernah menyukai semua opini ayak-nya. Bukan merasa benar, tapi keputusan pria itu tak pernah adil untuknya. Bahkan di dalam hati terkecilnya sering berprasangka, apa pria itu sebenarnya tak mengharap dirinya? Sungguh pemikiran yang kekanakan.

"Al akan balik kesini, Mi.." Desis Altaf yang masih di dengar oleh Mariyah.

"Kamu boleh kembali kesini, Al. Asal ingat tempat asalmu.." Bisik Mariyah, mengelus lembut bahu putranya.

Altaf terdiam. Memang tiada, orang yang mengerti dirinya lebih dari ibunya. Diambilnya ponsel dari dalam tas kecil di pangkuannya, lalu mengetik beberapa kata di memo ponselnya.

12 Jumadil Akhir 1438 H.

Di atas langit Turki. Kamu berjanji pada dirimu sendiri dan wanita yang kamu kasihi. Kamu akan kembali, ke tempat ini.

Konya, Turki.

🐾🐾

Update!

Selamat membaca:)

Jangan lupa follow, vote dan komen ya..

See you👋🏻

MastaniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang