Stalker

610 89 43
                                        

"tidak!" Seungcheol menatap mata Jihoon yang sekarang memerah, entah karena amarah atau menahan tangis. "Kau mau pukul, pukul saja. Jika kau mengira aku tidak pernah mendapatkan yang lebih buruk dari ini kau salah. Dan jika kau pikir ini  semua akan menghancurkan ku, biar kuberitahu kau sesuatu," Seungcheol memegang kedua bahu Jihoon, mencegah kemungkinan Jihoon untuk menghindar sekaligus memaksa netra itu untuk menatap miliknya.

"Aku sudah hancur dari awal. Aku pun tidak tahu apakah semuanya akan menjadi lebih baik jika kita bersama atau justru sebaliknya. Tapi tidak bisakah kita berhenti memikirkan apa yang tidak pasti, jika itu yang membuatmu begitu khawatir? Tidak bisa kah kita fokus pada apa yang kita inginkan?"

Seungcheol berharap kepala itu berhenti tertunduk. Dia berharap mata itu menatapnya, memberitahu semua kegelisahan yang tidak dapat diungkapkan oleh bibir itu.

"Katakan ji, apa kau benar-benar ingin aku pergi?"

Jihoon tidak berkata, pun tidak beraksi, entah tak mampu atau hanya ingin membuat Seungcheol frustasi. Namun tak lama sang fotografer merasakan  bahu pemuda tunarungu itu bergetar di bawah genggamannya. Dan Seungcheol yakin jika dia mencoba untuk mendengarkan lebih seksama dia akan bisa mendengar suara isakan Jihoon yang sudah coba pemuda itu redam mati-matian.

"Tidak penting apa yang aku inginkan." Tangan itu bergetar dengan begitu kentara. "Orang-orang tahu ada pilihan yang lebih baik daripada bersama seorang tunarungu."

Kata-kata itu, Seungcheol merasakan ada sesuatu yang putus di dalam dirinya ketika mendengar nya.

Keasaan.

Dan ketika Jihoon keluar dari genggaman tangannya, berjalan menjauh tanpa mau repot-repot mengangkat kepala barang untuk melirik sedetik saja ke arah Seungcheol, pria itu kembali merasakan perasaan tidak asing. Perasaan bahwa sesuatu kembali hilang dalam dirinya.

Kesempatan.

***

Seungcheol yakin jika dia dapat melihat ke dalam dirinya dia akan melihat suatu pemandangan mengerikan, sebuah rongga hitam yang gelap, terlalu gelap untuk diketahui seberapa dalamnya, dipenuhi keputusasaan.

Pernah ada sesuatu di sana. Sesuatu yang begitu besar, yang mengakar, yang begitu sakit saat itu hilang. Kemudian perlahan Seungcheol kembali mengisinya tanpa tahu jika itu terlalu beresiko, terlalu banyak keraguan, terlalu terburu-buru dan sembrono. Sampai akhirnya Seungcheol baru merasakan bahwa itu membakar dirinya bak asam di dalam luka.

Ternyata melepaskan Jihoon lebih sulit dari apa yang Seungcheol bayangkan.

Egois. Seungcheol telah menjadi epitome dari satu kata itu sejak lama.

Jika saja Jihoon mengatakan bahwa dia tidak menyukai Seungcheol mungkin keadaannya akan berbeda. Mungkin Seungcheol tidak akan sesakit ini. Mungkin Seungcheol tidak akan sebingung ini. Mungkin dia tidak akan merasa kehilangan sesuatu yang seharusnya bisa dia dapatkan dengan mudah. Kenyataan itu menyakitinya lebih dalam.

Kesalahannya adalah mereka. Mereka yang salah karena saling menaruh hati. Jika itu alasan Jihoon, apa yang dapat Seungcheol ubah? Apa yang dapat Seungcheol lakukan?

Semuanya abu-abu. Dia tidak ingin menyakiti Jihoon karena kehadirannya. Sebaliknya, Seungcheol merasakan dirinya mati setiap hari tanpa kehadiran Jihoon.

Sudah dua minggu sejak pertemuan terakhir mereka. Dua minggu yang tidak pernah berjalan baik bagi Seungcheol.

Dua minggu dan Seungcheol belum juga berhenti memikirkan Jihoon.

Sebut ini sebagai takdir, tapi Seungcheol bahkan tidak bisa bermimpi bertemu Jihoon di kafe kopi langganannya. Berdiri di balik bar, berkutat dengan blender dan bahan-bahan, dengan seragam merah ala kafe tersebut. hampir saja Seungcheol ingin mencungkil kedua matanya karena dengan begitu ulungya telah membuat ilusi yang membuatnya termangu cukup lama di depan kasir hingga membuat orang-orang di belakangnya gaduh.

Hear me out (Jicheol)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang