Only You

422 47 54
                                    

"Jihoon!"

Tanpa perlu berpikir sama sekali, Seungcheol melesak maju, mendorong Jihoon di waktu yang tepat sebelum lokomotif logam itu dapat menyentuh pemuda itu. Waktu yang juga tepat untuk membuat dirinya sendiri tertabrak.

Mobil itu tidak berhenti sampai beberapa saat. Mendorong Seungcheol beberapa senti dari tempat dia berdiri sebelum kemudian ban itu mengerem, menimbulkan suara decitan nyaring di aspal.

Seungcheol menempatkan kedua tangannya di atas kap hitam mobil yang dingin dan basah, kaki bergetar, nyeri luar biasa. Dia melihat sang sopir, seorang pria di pertengahan 40 tahun, mata membeliak panik. Ada penumpang di kursi belakangnya yang juga nampak tak kalah panik. Kemudian sang sopir melongok kan kepalanya ke luar jendela, berteriak marah kepada Seungcheol, "Dasar tolol! Kau hampir mati! Minggir!"

Klakson mulai bersahut-sahutan di belakang mobil. Seungcheol mundur ke trotoar. Laju lalu lintas kembali normal.

Seungcheol menoleh pada Jihoon yang masih berdiri di sana, di bawah guyuran hujan. tidak pernah dia melihat kengerian di wajah seseorang seperti yang tergambar di wajah Jihoon sekarang.

***

Seungcheol berdiri di bawah pancuran. membiarkan air membasahi setiap jengkal tubuhnya, membilas jejak air hujan yang tadi melekat di kulitnya.

Dengan air hangat yang mengguyur tubuhnya, pikiran Seungcheol berkelana. Dia tidak bisa berhenti memikirkan betapa dekatnya dia dengan 'kehilangan Jihoon'. Dan, bahkan, sekalipun hal itu tidak terjadi, Seungcheol tetap merasakan ketakutan itu. Perasaan ketakutan yang luar biasa akan kehilangan, yang dia yakini, tidak akan dapat dia tanggung. Perasaan itu memenuhi celah di kepalanya, seperti air, mengalir membawa gelombang mala petaka ke suluruh tubuh suengcheol.

Perasaannya teraduk, dia terduduk. Dia sandarkan kepalanya di dinding keramik. Tangannya bergerak di kaca, menulis sebuah hieroglif di permukaannya yang berembun, sesuatu yang memenuhi kepalanya. Berulang-ulang.

Lee Jihoon.

Seungcheol akhirnya bangkit, mematikan keran dan keluar dari pancuran ketika sadar Jihoon mungkin telah menunggu begitu lama.

Dia meraih handuk untuk mengeringkan tubuh dan rambutnya. Memakai deodoran, kemudian berpakaian: celana pendek dan baju hangat.

Di ruang tengah Jihoon telah menunggu, tampak canggung duduk di atas sofa yang kebesaran sendirian, dan di dalam balutan pakaian Seungcheol: sweater yang cukup hangat dan celana jins. semuanya dari masa SMA Seungcheol yang sudah tidak lagi muat di tubuhnya.

Perlu upaya yang begitu keras untuk akhirnya membuat Jihoon setuju mengganti pakaiannya yang telah basah kuyup terkena hujan dengan itu. 

Jika Seungcheol tidak baru saja ditabrak--diserempet--apapun sebutannya--oleh mobil karena menyelamatkannya, ceritanya mungkin akan berbeda. Jihoon tidak akan berada di sini, dan Seungcheol mungkin akan menghabiskan sisa hari ini untuk meratapi nasib sambil ditemani es krim, kalau kebetulan di kulkas sedang ada  persedian es krim, atau bir--Tidak. dan bir. es krim dan bir. mabuk sampai teler, tertidur, kemudian menyongsong hari yang baru untuk kembali meratapi nasib, mengulangi siklus yang mengerikan itu terus dan terus. 

Saat melihat Seungcheol datang, pemuda itu serta merta bangkit. Tapi, meskipun sudah berdiri, kecanggungan Jihoon tidak berkurang. 

Tanpa menatap mata Seungcheol, Jihoon membuat gerakan tangan, menyampaikan sesuatu yang  dapat Seungcheol baca dengan jelas. "Dimana--" dan Seungcheol tidak mengerti kata selanjutnya yang dia buat.

"Ha?" Seungcheol berkata.

Walaupun Jihoon mungkin tidak bisa mendengar itu, karena Seungcheol tidak melihat pemuda itu mengenakan alat bantu dengarnya, Jihoon pasti melihat kebingungan di wajah Seungcheol.

Hear me out (Jicheol)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang