Tiga

69 29 3
                                    

Sepanjang jam pelajaran terakhir Kerina dengan penuh semangat menceritakan tentang idolanya, lee min ho. Safira mengalihkan pandangannya dari Kerina. "Nanti kalau gue jadi istri lee min ho jangan iri ya!" Kata Kerina sambil mengusap wajah sang idola di handphonenya.

Safira memutar bola matanya.

Bagaimana dia iri? Kenal lee min ho saja enggak! Boro-boro jadi istri.

Handphone Safira berbunyi, menandakan notifikasi masuk, lalu mengambilnya di kantong saku. Melihat chat dari adiknya.

"Kak aku dirumah sendirian, bibi juga udah pulang"

Safira tidak membalas chat dari adiknya, lalu memasukkan kembali handphone ke dalam kantong saku.

Bel pulang sekolah berbunyi. Para murid murid dengan semangat berhamburan ke luar kelas.

Beda dengan Safira hal yang tidak di sukai adalah saat pulang sekolah. Karena adiknya sendirian dirumah mau tidak mau harus langsung ke pulang rumah.

Padahal keluarganya ada enam orang, termasuk dirinya, tapi bisa dipastikan rumah hanya dihuni bi inyem dari pagi hingga sore.

Kerina memandangi Safira yang terburu-buru membereskan buku. "Ngapain sih buru-buru amat? Kaya ada yang nungguin lo aja,"

Ucapan Kerina membuat Safira serasa tersengat listrik, lalu ia memukul Kerina. "Berisik lo!" Safira cepat-cepat memanggul tas ransel.

Dari dulu Safira seneng banget bawa tas ransel. Padahal isinya enggak banyak-banyak banget. Safira juga nggak pernah bawa kosmetik ke sekolah seperti Listi, teman sekelasnya yang hobbynya menanyakan hal ini Setiap pagi kepadanya, "eh, alis gue gak ketebelan kan?" Listi sambil bercermin lalu menggosok gosokkan tangannya ke alisnya, Berharap Aladdin keluar ya pas digosok-gosok?

Eh, pas digosok-gosok malah keluar daki.

Safira juga jarang pake banget ke sekolah pakai make up, pakai bedak aja kalau inget. Memang walaupun Safira tidak memakai make up wajahnya tampak mulus dan cantik!

Safira memesan gojek, lalu menunggu di depan halte sekolah. Beberapa menit kemudian akhirnya abang gojek sampai, tidak lupa memakai helm untuk keselamatan. Safira memberitahu alamat rumahnya lalu berangkat.

"Neng, kelas berape?" Tanya Abang gojek memulai topik pembicaraan.

Tidak terlalu jelas dipendengaran telinganya hanya terdengar suara angin, Safira mengganguk. "Iya," 

Abang gojeknya mengintip dari kaca spion, Aneh. Ditanya apa jawab apa. Akhirnya abang gojek membisu sampai tujuan.

"Depan kiri,"

Safira turun dari motor yang ditumpanginya, mengambil dua lembar uang sepuluh ribu dari kantongnya lalu membayarnya.

Safira mendorong pagar rumah.

"Neng,"

Safira menoleh, menyeritkan dahi. "Kurang ya? Uangnya?

"Anu, ini neng," Abang gojek memegang kepala memberi instruksi untuk melepaskan helm yang ada dikepala Safira.

Safira diam. Malu. Lalu melepaskan helm dari kepalanya, memberikan kepada abang gojek. "E-eh, lupa bang," Safira nyegir.

Safira masuk ke halaman, dia menghela nafasnya panjang.

Safira melirik rumahnya dengan sinis.  Bangunan dengan dekor mewah bertingkat, taman dan bunga-bunga menghiasi sekelilingnya dan saung dibelakang rumahnya. Memang indah. Baginya, rumah hanya tempat tidur. Kalau bisa berada di luar rumah sepanjang hari. Ia pasti memilih itu.

Safira juga sedang mencari kos-kosan dekat sekolahnya bukan karena takut terlambat pergi ke sekolah, melainkan karena malas dirumah. Papa dan mama sibuk dengan urusan pribadi masing-masing tanpa memperhatikan anak-anaknya.

Mereka berkumpul makan malam, itu pun tidak menyenangkan. Setiap kali bertemu, orangtuanya selalu bertengkar. Hal tak jelas yang di ributkan. Hampir tidak ada hari yang dilewatinya dengan tenang jika ada orangtuanya.

Jika sudah bertengkar bukan hanya kata-kata keras yang dilontarkan, piring dan barang lain juga ikut meramaikan suasana.

Tak heran kedua adiknya, Azlia dan Kezon yang selalu berusaha menyibukkan diri di luar rumah. Kalau bukan terpaksa, Seperti sekarang, Lebih baik dia mampir ke rumah temannya dari pada dirumah yang selalu ada drama kasar yang diperankan oleh kedua orangtuanya.

Safira membuka pintu. Azlia menghampirinya, "Kak fira pulangnya lama banget,"

"Biasanya juga pulang jam 10.00 biasa aja," Safira melepaskan sepatunya, lalu meletakkan dirak sepatu.

"Bi inyem masak apa?"

Meskipun Istirahat disekolah tadi Safira sudah menglahap dua mangkuk mie ayam, tapi sekarang cacing diperutnya sudah berteriak minta diisi.

"Biasanya kan ga ada yang makan dirumah jadi bibi ga masak."

Safira menghembuskan nafasnya kesal. Safira melangkah ke kamarnya, untuk istirahat sejenak.

Dikamarnya, Safira meletakkan tas di atas meja lalu menjatuhkan tubuhnya di ranjang. Rasanya lelah tapi dia sama sekali tidak ingin terlelap.

Safira belum menemukan posisi yang membuatnya nyaman. Dia bosan. Ingin melakukan sesuatu, namun tidak tahu apa sebaiknya yang harus dilakukannya.

Safira melihat bingkai foto yang di pajang di atas meja belajarnya, lalu di ambilnya.

Di foto terlihat keluarga sangat harmonis. Dengan latar belakang gunung bromo.

Safira menatap saudara-saudranya satu persatu.

Kennia tersenyum sambil memamerkan gigi putihnya, Nama lengkapnya Kennia klerina, dia anak pertama dari empat bersaudara. Sekarang dia bekerja distasiun tv yang cukup terkenal.

Mata Safira beralih pada Azlia Adliandri yang berpose jari v, Anak ketiga. Sekarang dia duduk dibangku smp kelas 9, Adiknya ini cukup pintar tapi sangat disayangkan orangtuanya tidak menyalurkan bakat anaknya.

Beralih pada mata kezon, Anak terakhir ini sangat menggemaskan. Saat ini dia duduk dibangku smp kelas 7, Kezon pandai memainkan alat musik, mungkin keturunan papanya.

Dulu setiap malam minggu kita sekeluarga selalu karokean. Papa yang memainkan piano, sedangkan kerzon memainkan gitar, dan Safira yang menyanyi.

Tapi sekarang?

Boro-boro karokean, saling sapa aja tidak. Tangan Safira mengusap foto. Matanya meneteskan air mata tepat jatuh difoto tersebut.

Safira memeluk bingkai foto tersebut erat-erat. Safira memejamkan mata, mencoba untuk terlelap. Tidak sampai sepuluh menit kemudian.

Dia sudah berada di alam mimpi.









HallucinationsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang