"Bangun, ayok makan!"
Terdengar suara Azlia yang sayup-sayup, Azlia menggoyangkan tubuh Safira tapi tidak bangun juga. Azlia mengambil Bingkai foto yang dipeluk Safira.
Azlia tersenyum kecut melihat foto keluarganya lalu meletakkan di atas meja belajar.
Azlia menepuk pipi Safira, Safira bangun menguap lebar.
"Kalau nguap ditutup, bau tau!" Azlia menutup hidungnya dengan tangan.
"Hmm,"
"Mau makan nggak?" Safira membuka matanya berat, matanya Sembab sehabis menangis.
"Abis nangis kak?"
Bukannya menjawab Safira malah memejamkan matanya berharap Azlia tidak menanyakan lagi.
"Hoaam...gue masih ngantuk," Kata Safira berbohong. Sebenarnya perutnya minta diisi dari pulang sekolah. Walaupun tadi disekolah ia sudah memakan dua mangkuk mie ayam tapi cacing diperutnya sudah berteriak.
"Yaudah, Azlia makan dulu,"
Setelah melihat Azlia yang sudah meninggalkan kamarnya. Safira bangun, bergegas ke kamar mandi cuci muka, sikat gigi. Lalu mengganti baju seragamnya.
Safira mengambil hanphonenya, menuliskan pesan untuk Kerina.
"Temenin gue makan diluar yuk nanti gue traktir!"
Pesan terkirim. Beberapa menit kemudian Kerina membalas. Safira mendegus setelah membaca pesan.
"Sorii gabisa Saf gue lagi ga dirumah,"
Malam ini berarti Safira harus menahan lapar sampai besok.
***
"STOP!!!"
Safira menggeleng-gelengkan kepala, berteriak dengan keras. Namun suara- suara tidak hilang. Air mata yang mengalir dengan deras di pipi Safira.
Safira melihat kedua orangtuanya kembali bertengkar. papanya memegang pisau mengarahkan ke mamanya.
Tangis Safira menjadi-jadi, Seolah ada sesuatu yang mendorong dari dalam tubuhnya untuk keluar.
"TIDAKK!!" Safira membuka matanya. Dadanya sesak karena melihat drama itu semua. Jantungnya berdebar-debar keras. Keringatnya mengucur disekujur tubuhnya.
Mimpi. Itu cuma mimpi.
"Firaa!" Suara nyaring membuat Safira menoleh. Matanya menyipit untuk melihat jelas.
"Bi..."
Bi inyem menggucang-guncangkan tubuhnya. "Kenapa teriak-teriak?" Tanya Bi inyem memastikan.
Safira mengejap-ngejapkan mata. Jantungnya mulai normal lagi. Ia menelan ludah. Bi inyem keluar kamar mengambil segelas air putih.
"Nih non," Safira meminum air putih. Bi inyem mengelap keringat diwajahnya dengan tangan.
"Hari ini aku nggak sekolah dulu Bi." Safira menatap lesu.
Biasanya Bi inyem langsung protes pajang-lebar jika Safira membolos sekolah. Tapi kali ini, Bi inyem memaklumi karena melihat matanya yang terlihat sedih.
Bi inyem meletakkan tangannya dikening Safira. Panas. "Non, sakit?"
"Mungkin,"
Apa karena kurang makan? Kemarin dia hanya makan pas istirahat sekolah, Selebihnya dia puasa.
"Ya sudah, Bibi bawain sarapan ke kamar ya!" Safira menahan tangan bi inyem yang hendak bergegas pergi.
"Nggak usah Bi, Safira makan di meja makan aja. Mama ada?"
"Ada dikamar, kalau bapak sudah pergi dari jam lima tadi," Kemudian bi inyem keluar kamar.
Safira memandang bayangan dirinya di cermin. Matanya sembab. Bawaannya ingin marah terus saat melihat orangtuanya.
Safira menuruni anak tangga perlahan. Ia berpapasan dengan mamanya di meja makan. Wanita itu sedang memasukkan bekal untuk dibawa ke kantornya nanti.
Mamanya menghentikan kegiatannya ketika Safira muncul masih menggunakan baju tidur.
"Bolos lagi?" Tanya mamanya lalu memasukkan bekal ke dalam tasnya.
Dada Safira berdenyut sakit.
Kemudian mamanya menyeruput kopi dengan nikmat sambil membaca koran.
"Sakit, Ma. Nggak lihat muka Safira kaya gini?" Safira duduk berhadapan dengan mamanya. Ia mengambil sepotong roti untuk menggajal perutnya yang lapar.
"Maaf tidak sadar," kata mamanya sambil membaca koran tanpa menoleh.
Bagaimana bisa seorang ibu tidak menyadari anaknya sedang sakit?
Sambil menguyah roti. "Mama mau pergi?" Safira masih berusaha untuk komunikasi. Biarmanapun dia jarang bertemu dengan ibunya. Safira kangen suara ibunya.
Safira memerhatikan raut wajah ibunya. Dia menyadari ibunya lebih kurus dan tidak ada lagi senyuman yang tercetak diwajahnya yang dulu dilihatnya saat masih kecil.
"Kata siapa mama pake baju kaya gini mau ke pasar?!" Jawab ibunya dingin.
Safira merasa hatinya tertohok. Ia merasa tidak lagi dianggap sebagai anaknya.
Sesak. Tidak tahan. Safira segera beranjak dari kursi, menyenggol gelas diatas meja hingga tumpah, berlari pergi dari meja makan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Hallucinations
Teen FictionSafira Alkira yang terlahir dari keluarga harmonis tapi itu hanya sandiwara belaka, drama kasar yang sering diperankan oleh kedua orangtuanya. Lalu bagaimana Safira bisa melewatkan hari-hari dengan tenang? Safira juga berbeda dari cewek cewek lain...