Suffering

14 1 0
                                    

Aku menangis. Tentu saja, itu wajar saja kan. Memeluk kawanku, seakan-akan aku bisa menyerap energi darinya untuk diriku ini, untuk hatiku lebih tepatnya. Seharusnya aku marah, tapi aku justru menyalahkan diriku sendiri, tapi itu juga tak salah. Logikaku mengatakan bahwa pasti ada yang salah dariku hingga kamu pergi, bahkan alasan untuk rasa bosanmu itu. Karena mau tidak mau aku sudah sejak dulu percaya bahwa suatu kejadian adalah selalu tentang sebab-akibat, bukan sekedar tentang siapa yang salah dan siapa yang tersakiti.

Hari-hari itu terisi oleh kesibukan mengemasi barang-barang kantor dan belasan mesin. Memilah-milah barang yang harus dikirim ke pusat atau ke cabang lain atau dibuang karena sudah usang. Jadwal berubah menjadi satu shift saja, pagi hingga sore untuk mengemasi semua itu, hanya saja ada lembur untuk karyawan laki-laki karena malam hari mereka harus menurunkan mesin ke basement untuk pengantaran, pastinya dengan kompensasi uang lembur. Aku wanita,muda dan kasmaran, membuatku bergabung dalam shift lembur itu. Aku tetap membantu dengan sepenuh tenaga, mesin-mesin itu memiliki roda yang memudahkan untuk didorong, jadi bagiku itu biasa saja, lagipula aku bisa lebih lama melihatmu bekerja keras, melihatmu sebagai laki-laki kuat yang bersedia melindungiku, saat itu.

Pukul 22:00, masih ada waktu dua jam sebelum hari esok. Kamu mengajakku menyesap secangkir kopi di dekat tempat kerja.

"Bukankah lebih baik kamu istirahat ?"

"Kamu capek ?" kamu malah balik bertanya, dan jelas sekali aku tak ingin bilang kalau tidur adalah hal pertama yang akan aku lakukan saat pulang nanti.

"Tidak sih." akhirnya aku menjawa dengan tulus dan ikhlas

"Mau menemaniku ngopi ? Aku masih mau ngobrol sama kamu." tidak heran sih, karena selama di tempat kerja, aku dan kamu sibuk dengan bagian masing-masing dan jarang mengobrol dengan benar karena ingin segera menyelesaikan pekerjaan yang ada.

"Boleh, dimana ?" tanyaku

"Di depan situ aja, dekat."

Akhirnya malam itu, lagi-lagi habis untuk begadang menghabiskan waktu bersama, merelakan jam tidur berkurang demi hubungan yang berkualitas, hubungan dengan komunikasi yang rutin. 

Bekerja seadanya saja, pelanggan yang datang dan pergi menjadi pelipur laraku saat ini. Jelas sekali aku butuh peralihan, bukan berarti aku menginginkan pelarian. 

Beberapa hari berlalu, pengemasan terakhir adalah hari ini setelah itu kami hanya akan menunggu hari terakhir kontrak sewa toko. Kami semua menghabiskan waktu dengan berbincang kesana kemari, sedikit banyak tentang kenangan kerja di toko itu sebelum benar-benar melepasnya tiada, menggosip segala hal tanpa fakta atau sekedar kabar burung yang dibesar-besarkan atau membicarakan rencana masa depan masing-masing termasuk hubunganku denganmu. Meskipun kami hanya berbincang-bincang atau sesekali membantu atasan kami, jam makan siang tetap berjalan seperti biasa walaupun tidak semua ikut karena memang tidak terlalu lapar. 

Awal berita yang kami terima adalah kami yang masih menginginkan bekerja di tempat itu akan dimutasi ke cabang yang sama, namun pada akhirnya semua berbeda karena kebutuhan toko cabang juga berbeda.

"Kamu sama temenmu itu mau nggak ditempatin di Kota Kediri ?" tanya manajerku saat itu

"Ha ? Gimana pak ? Nggak apa sih pak." jawabku sedikit ragu.

Bukan apa-apa, selain aku akan terpisah denganmu saat itu, aku lebih mempertimbangkan diriku yang harus dekat dengan rumah karena hubunganku dengan keluarga tidak begitu baik.

"Kamu mau nggak ditempatin di cabang Kediri ?" tanya manajerku lagi di suatu waktu saat yang lain sibuk

"Mau mau aja sih pak, itung-itung pengalaman." jawabku sekenanya

"Soalnya di sana kan kamu bisa deket sama rumah."

"Iya, pak."

"Takutnya kamu nggak mau, kan jadi jauh sama pacarmu itu." Entah demi apa beliau begitu perhatian sekali dengan hubungan kami. Ada restu secara tak langsung.

"enggaklah pak, namanya juga kerja." jawabku jujur.

Bagiku yang pernah menjadi hubungan jarak jauh, hal ini jelas bukan lagi hal yang baru bagiku. Aku juga terlalu percaya pada cinta, menepis semua testimoni para pejuang cinta yang pada akhirnya gugur karena jarak yang membentang.

Hufftt.. andaikan saja saat itu aku tak percaya pada apa yang aku percaya. Ingin sekali kembali dan lebih menguatkan logikaku sendiri, tentang selalu ada kemungkinan untuk berpisah. Sedikit sekali rasa sesalku, lebih banyak pada penderitaan hatiku akibat aku lengah dan terlalu terbuai.

Sekarang setiap sudut tempat kerja adalah kenangan, bahkan seragam divisi teknisi juga kenangan. Sayangnya, kenangan itu terasa pahit. 

Keramaian pelanggan yang membludak, terutama pada saat akhir pekan tidak ada artinya. Bahkan lelahku pun tak dapat menghentikan memori yang berputar di kepalaku, memori tentang aku dan dia (bukan lagi kita ataupun kami). Ini menyiksa, sangat.

Bahkan di tengah-tengah keramaian aku masih sempat meneteskan air mata. Semua ini terlalu tentang dia, terlalu menyakitkan. Saat jam istirahat justru lebih membahayakan, waktu yang terlalu cocok untuk mengenang. Bahkan aku membuat beberapa rekanku menawarkan pelukan sukarela demi menampung kesedihanku, atau mungkin jengah dengan kesedihanku yang berarut-larut.

Selama berhari-hari, berminggu-minggu, hingga menjadi beberapa bulan, semua terasa menyesakkan, dan aku mengundurkan diri dari pekerjaan.

Aku menyerah. 

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 22, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Rinduku - Kamu PertamakuWhere stories live. Discover now