DIKA

643 44 2
                                    

Seorang gadis sedang gelisah menatap gerbang yang sudah tertutup di hadapannya.

"Gimana nih?." ujarnya dengan pasrah.

"Telat." Suara yang begitu berat nan dingin dari seorang cowok.

Devina pun menoleh betapa terkejutnya ia melihat Dika yang masih bertengger di motor sportnya.

"Sttt_____ jangan keras-keras ngomonya, nanti kedengaran sama pak Dahlan bisa berubah entar." ucap Devina dengan setengah berbisik.

Dika hanya diam memperhatikan gadis yang selama ini memenuhi pikiranya, entah mengapa akhir-akhir ini ia selalu kepikiran soal Devina gadis yang begitu aktif dan cerewet menurutnya begitu?. Dika telat ya karena semalam ia tida bisa tidur karena kepikiran soal Devina.

"Ikut." Dika bersuara sambil menunjukan ke jok belakangnya.

"Kemana? Gue takut di hukum kalo ketahuan bolos." ucap pelan Devina dengan cemas.

Dika hanya diam, memperlihatkan sorot mata yang tajam dan dingin. Membuat Devina menciut seketika, ditatap seperti itu membuat nyali ciut dan takut. Devina pun naik ke motor sportnya Dika. Dan motor itu melaju menghampiri warung yang berada di belakang sekolah, Mereka pun turun dari motor dan mengahampiri ke penjual warung dan duduk di kursi.

"Loh! Ujang Dika tumben kesini? Kemana teman-temannya yang lain?." tanya sangat penjual.

"Telat Ceu, Ada." jawabnya.

"Oh, Uwalah Neng ini teh siapa? Meuni Cantik pisan."

"Ah ibu bisa aja hehe.., saya Devina bu." ujar Devina dengan tersenyum malu.

"Jang hoyong naon." ucap Suami penjual warung itu pake bahasa Sunda yang kental. Ujang itu istilah memanggil anak lelaki dengan sebutan ujang/Jang di bahasa Sunda. "Mau apa"

"Ada tangga Mang?." ucap Dika

"Pasti mau manjat ya, karena telat."

Dika hanya mengganguk dan tersenyum tipis.

"Wegilasehh es kutub senyum! Ganteng banget? Eh apaan sih Devina sadar woyyy." Batin Devina saat melihat Dika tersenyum.

Dika pun menerima tangga dari Mang Asep, ia pun membawa tangga itu ke dinding dekat sekali dengan pohon yang besar jadi kalo dia telat bersama teman-temannya ia manjat dan mampir sebentar.

"Eh bu ini berapa?" tanya Devina ke penjual yang sering di sapa Bu Imah itu, ia menunjukan roti dan sebotol air.

"Jadi lima ribu neng."

Devina pun mengeluarkan uang pecahan lima ribu di sakunya dan di berikan  ke Bu Imah.

"Hatur nuhun Neng." ucap Bu Imah dengan senyuman.

"Sama-sama Bu."

Dika pun menghampiri Devina karena telah selesai memasangkan tangga.

"Mang titip Motor ya." ujar Dika sopan.

"Iya siap Jang Dika."

Ia pun menarik lengan Devina supaya ikut Dengannya. Mereka telah sampai.

"Eh buset kita naik nih? Ogah ah gue nggak bisa." rajut Devina.

"Naik."

"Nggak mau."

"Mau dihukum.?"

"Ya nggak mau sih, yaudah deh iya. Tapi jangan ngintip." Setalah berucap seperti itu Devina menaiki anak tangga.

Sumpah ini baru pertama kalinya ia naik tangga untuk masuk sekolah?Takut?  iya takut di hukum dan ketahuan bisa gawat. Setelah Devina masuk barulah Dika masuk juga seperti mau maling saja harus mengendap-ngendap dulu melalui Celah-celah lorong. Alhamdulillah nya sih nggak ada guru, padahal inikan mau masuk sekolah bukan mau maling barang.

Benci Menjadi Cinta.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang