● P [2/2]

19.1K 2.4K 61
                                    


Typo = pelengkap karya

Be my mate, please...

Satu irisnya terlihat, mengintip ke arah gulungan selimut yang sepertinya diisi oleh seseorang didalamnya. Namun terasa janggal, sebab tidak ada sehelai pun surai Jaemin disana. Langkahnya cepat, segera menarik gulungan tersebut hingga menjadi sebuah selimut yang menutupi satu buah bantal guling.

"Sial!" Umpatnya.

Apakah katanya benar? Jaemin berbahaya?

Jeno segera berjalan cepat kearah luar. Namun seseorang menghentikan kegiatannya. "Jeno! Apa yang terjadi? Kenapa wajahmu pucat sekali?" Haechan langsung menahan satu lengan Jeno ketika tidak mendapat jawaban apapun.

"Jaemin hilang!"

Haechan mendelik. "Apa kau bilang?! Tidak mungkin! Jaemin bilang ia ingin tidur siang tadi!" Jeno mengerang. "Kita harus mencarinya segera. Ini sangat berbahaya. Bagi Jaemin atau kita, aku tidak tahu."

Haechan mengangguk cepat. "Ayo! Jika ia pergi maka ia dalam bahaya!" Jeno segera berlari. "Kita cari disini sebelum mencari keseluruh pack. Jaemin tidak tahu jalan manapun, ku yakin ia tidak akan pergi jauh!"

Mereka mencari hampir keseluruh kastil. "Kita cari lewat sini. Kalau ia keluar pasti ia akan melewati jendela ini terlebih dahulu."

"Jangan gila! Ini terlalu tinggi bagimu. Aku tidak yakin kau masih hidup setelah melompatinya." Jeno baru menaikkan satu kakinya namun suara seseorang menghentikannya.

"Heol! Haechannie aku mencarimu dari tadi!" Suara manja itu--Jaemin! Mereka menoleh serentak, melihat wajah berbinar Jaemin. Jeno mengerutkan alis, berbanding dengan Haechan yang langsung mengomeli Jaemin yang disuguhkan ringisan oleh lawannya.

"Kau habis dari mana saja?! Aku sempat berpikir kalau kau pergi!"
"Maaf~ lain kali tidak ku ulangi lagi," Jaemin terkekeh lalu pergi bersama Haechan entah kemana. Jeno tidak ambil pusing oleh dua sejoli itu.

Jeno menghela nafas. Jaemin sudah kembali. Jaemin sudah bersama Haechan. Bisa saja ia mengelilingi istana tanpa sepengetahuannya. Atau bisa saja ia pergi kekamar mandi sebentar.

Ia tidak tahu, mengapa pikirannya sangat pendek. Ia terlalu cepat mengambil keputusan. Mungkin saja ini semua akibat perkataan Yuta. Jeno menghela nafas lagi, entah kenapa semua mulai terasa janggal.

Ia menggeleng, tidak. Yuta hanya ceplas-ceplos. Itu pun tidak penting untuk sekarang. Yang terpenting hanyalah Jaemin dan pack miliknya kedepannya.

Tapi, jika dia Jeno tidak yakin apakah perkataannya hanya bualan belaka. Ia tidak pernah bercanda. Jika pikirannya benar, Jaemin-lah yang dalam bahaya. Sebaliknya, ialah yang ada didalam bahaya.

Kini semua tergantung, dimana pisau tersebut menunjuk, dan menusuk.

[ALPHA||NOMIN°]

Mata Haechan membelalak. "Yang benar?! Dia bilang Jaemin berbahaya?!" Ia langsung menutup mulutnya ketika melihat delikan Jeno. "Kecilkan volume suaramu!" Haechan cepat mengangguk.

"Ya, begitulah," Jeno menggedikkan bahunya. "Ia tidak pernah main-main terhadap ucapannya. Lebih-lebih lagi dia adalah tangan kanan kakek. Jika sampai kakek yang memperingati.....

..itu tandanya akan ada sebuah bencana besar."

Haechan mengangguk. Tentu ia ingat kejadian bertahun-tahun lalu. "Yang terpenting sekarang, apa yang kau inginkan? Membuang atau menyimpannya?"

"Tentu menyimpannya. Tapi caranya bagaimana itulah yang membuatku bingung," Haechan mengangguk, sebelum matanya berbinar, menandakan sebuah ide terbesit dipikirannya.

"Be his."

[ALPHA||NOMIN°]

Matanya tak lepas dari lilin yang tertera dimeja. Bajunya amat rapih, Haechan memilihkannya. Entah untuk apa, Jaemin tidak tahu. Ia terseret dalam meja yang harusnya terkesan romantis tapi terkesan menyeramkan baginya.

Bagaimana tidak? Ruang ini sangat gelap. Hanya satu lilin ditengah meja yang menerangi dengan pendarnya. Lainnya adalah pasang mata dengan pupil tak seiras memandanginya dengan menusuk. Bahkan ia ragu untuk bernafas sepertinya.

Satu daging diatas piring yang ia ragukan daging apa, dengan pisau dan garpu disamping kanannya. Ia sedikit merasa takut, Haechan bilang ia harus berjanji tetap ada disini hingga acara makan tersebut selesai. Memang apa yang akan terjadi?

Suara pantofel perlahan menggema. Langkah tegas dan pasti. Jaemin tahu siapa orangnya. Lee Jeno. Ia membuang muka segera. Ditambah Jeno segera duduk dihadapannya.

"Tidak perlu tegang."

Tidak ada jawaban. Jeno menghela nafas. "Makan saja dulu." Tidak ada pergerakan. Jaemin acuh terhadapnya. Ia tahu betul. "Apa kau mau menu yang lain? Ak--"

"Katakan saja maumu. Selesaikan makan malam ini dengan segera," Jaemin tidak melirik sedikitpun sosok dihadapannya. Jeno menggaruk tengkuknya, menarik nafas sebelum membuka kotak beludru kecil ditanganinya.

"Be my mate, please."

Tbc


[COMPLETE] ALPHA || NOMIN° Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang