BAB 1

145 46 23
                                    

Hari itu, Malam itu, gue enggak tahu kalau itu bakal jadi hari di mana orang yang gue sayang disakiti. Salah satu orang yang membuat gue bertahan untuk hidup hingga sejauh ini. Salah satu orang yang selalu ingin gue jaga dengan apapun, seluruh hal-hal yang gue punya.

"Joy?" gue terkesiap atas panggilan tante Hanun. Gue lihat dia bawa sekantung makanan dan buah-buahan di dalamnya. Wajahnya yang gue kenal dengan senyum dan rona merah di pipinya itu kini surut dengan emosi yang sama dengan yang gue punya di mata gue, walau semua itu tetap enggak bisa menghilangkan aura kecantikan pada wajah beliau.

Jujur gue sayang banget sama beliau, bahkan melebihi orangtua gue sendiri, tante Hanun bahkan gak pernah ngeluh setiap tahu kalau anaknya tiap hari jalan dengan laki-laki yang berbeda, enggak pernah marah bahkan kalau anaknya bohong hanya untuk jalan dengan laki-laki itu sampai enggak pulang, gue bahkan gak ngerti sama sekali sama pemikiran tante Hanun yang beranggapan kalau apa yang dilakukan sama Lala adalah proses pendewasaan sampai gue liat Lala terbaring di ranjang rumah sakit ini.

"Nih tante beli bubur tadi." Tante Hanun mengangsurkan bubur dalam genggamannya berpindah ke kedua tangan gue. Tangannya dingin dan gemetar akibat hujan dan angin malam. "Makasih, tan."

"Kamu gak pulang? Apa mamamu gak marah kamu semalaman gak pulang?" gue mengulum bibir, menghindari tatapan tante Hanun.

"Aku ... lagi berantem sama mama."

"Ya sudah nanti tante yang telepon mamamu."

Gue menghela napas. Kalau saja tante Hanun tahu yang sebenarnya masalah ini nggak akan serumit dan seruwet benang yang kusut. Tapi, lebih dari itu, gue cuma mau Lala bangun dari tidurnya. Gue cuma mau semuanya kembali dari awal, kalua pun memang ada sebuah awal untuk gue, dan kalau pun awal itu enggak akan berbalik menjadi bumerang.

Seperti tahu apa yang gue pikirkan tante Hanun bilang selama nggak sadarkan diri Lala nyebut-nyebut nama Ayis. Setelah itu gue memutuskan untuk pergi. Mencari sumber masalah Lala.

***

"AYIS! KELUAR LO!" Gue menggedor pintu rumah Ayis dengan sekuat tenaga.

"AYIS! GUE TAU LO ADA DI DALAM! KELUAR LO!" setelah kesekian kalinya akhirnya gue melihat ada bayangan yang akhirnya menjadi sosok yang gue tunggu-tunggu. Tanpa basa-basi tangan gue langsung mendarat di sisi wajah Ayis, mengabaikan efek nyeri mendalam setelah mengenai tulang-tulang di wajah laki-laki itu. Ayis yang belum siap terkena hantaman gue yang tiba-tiba terdorong beberapa langkah ke belakang.

Gue bisa mencium bau alkohol dari Ayis. Matanya merah, dia kelihatan kayak pecundang. Apa dia gak pernah mikir apa yang dia lakukan sama Lala bisa berdampak besar?

Gue mendongak, "lo udah tau kan apa yang lo lakukan sama temen gue? KENAPA LO LAKUIN ITU BRENGSEK! GIMANA BISA LO SELINGKUHIN TEMEN GUE! She really loves you and what you do is cheating on her! Cuma elo bajingan yang gak tau terima kasih." Gue mengacak rambut, pikiran gue semakin kacau dengan rasa sakit yang berpusat di buku-buku jari gue, tampang Ayis yang engga karuan memperburuk keadaan dan membuat gue ingin muntah.

Gue menggumam, "gue cuma punya Lala. Cuma Lala," tatapan gue memicing ke arah Ayis. "Dan lo! LO BUAT TEMEN GUE SEKARAT!" Tangan gue yang baru akan mengenai wajahnya untuk kedua kali ditepis dengan cepat.

"Itu balasan buat dia yang berani jalan sama cowok lain." Setelah menghempas tangan gue, dia menyugar rambutnya. Gue masih gak paham apa yang psikopat ini pikirkan sama semua tingkahnya selama ini, dan dari awal gue tau kalau dia cuma cowok manja dan posesif yang gak punya otak dan sayangnya sahabat gue cinta sama orang yang gak punya otak ini.

"Cowok itu bisa aja temennya! Keluarga atau sepupunya! Lo enggak bisa lihat dia secinta mati itu sama lo! Apa yang lo lakuin itu berlebihan!"

"Gue cemburu!"

"CEMBURU DAN OBSESI ITU BEDA! Cemburu yang ada di pikiran lo sama sekali gak ngotak!"

"Temen lo terlalu lebay."

"LO YANG GAK BISA MENGHARGAI CEWEK DAN BERSIKAP GAK BERSALAH SAMA SEKALI ADALAH TINDAKAN TERLEBAY YANG TERLALU BODOH UNTUK BISA OTAK LO SADARI!" Gue mengalihkan tatapan, muak dengan muka psikopat itu. Gue mendengus, "gue Tarik omongan gue, kata bodoh terlalu mewah untuk bajingan saiko kayak lo, " kata gue pedas.

"Gue juga gak tahu kalau dia bakal bunuh diri Joy." Gue lihat pundak Ayis melemas. Dia merosot ke dinding, tangannya sibuk mengacak rambutnya.

"Gue nyesel Joy, tapi gue mau dia balik ke gue. Yang gue tau dia itu hidup gue."

"Yang gue tau kalua gue Lala, bagi gue lo udah mati di hidup gue." Tandas gue sebelum berlalu dari hadapan Ayis.

***

Untuk hari-hari yang berlalu, bahkan bulan, gue kehilangan orang yang benar-benar yang berharga di hidup gue. Gak ada kata-kata selain hampa dan kekosongan yang bisa mendeskripsikan apa yang gue rasakan.

Seperti hari-hari yang terus berlalu, Lala masih sama, tante Hanun juga, semua orang masih berusaha berpura-pura baik-baik saja untuk hal yang tidak biasa-biasa bagi gue, bahkan setelah sekian lama menghabiskan hari untuk menunggu.

Tidak ada hari di mana gue berhenti berharap, bahkan walau para dokter itu mengangkat tangan. Dan hal itu enggak akan gue pernah biarkan.

Tubuh Lala masih terbaring di ranjang rumah sakit itu, yang membuat berbeda hanya tubuhnya yang semakin pucat dan semakin banyaknya alat yang membantunya untuk bertahan hidup.

Lalu, tidak ada lagi.

Dari pagi hingga pagi Lala masih belum mau bangun, entah suara burung berkicau atau monitor yang berbunyi hanya membuat dunia gue seakan benar-benar sunyi. Gue berharap dan berdoa semoga Lala enggak akan menyerah. Bahkan untuk memikirkan kata itu, atau memikirkan kata-kata lain yang memiliki makna yang sama. Gue berdoa semoga sudah enggak betah denga napa pun yang dia lakukan dengan Tuhan di atas sana, entah berbincang-bincang tentang betapa bodoh dan kasarnya manusia, atau tentang kurang bersyukurnya kami atau tentang putus asanya gue. Gue hanya ingin Lala Kembali.

"Tante, aku pulang dulu," kata gue dengan lesu.

Dengan pakaian kusut ini gue menenteng tas dan pergi dari rumah sakit.

Bagi gue, tidak ada tempat di dunia ini di mana gue bisa hidup. Karena sepertinya gue tercipta dengan tanpa membawa Dewi Thike disamping gue.

Untuk waktu yang lama gue hanya berdiam diri di depan pagar rumah gue, karena sepertinya ketika gue menginjakkan kaki disini, gue sangat salah.

"Keputusan yang bagus untuk kembali lagi ke sini, Joy."

WE'VE JUST METTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang