BAB 2

94 46 8
                                    

Untuk sekian kalinya, Tikhe menyertai gue.

Gue menghitung saat-saat ini, menghitung seberapa kuat diri gue untuk bertahan menghadapi satu-satunya orang yang membuat gue hidup.

Nyokap gue dengan cepat berada di hadapan gue. "Mama hampir saja menelepon polisi untuk mencari kamu. Mama sangat khawatir Joy. Kamu yang seperti ini, mama tidak menginginkannya Joy, kalau kamu pergi lagi mama tidak punya siapa-siapa." Ia Berniat untuk memeluk gue. Gue enggak bisa menilai di mana letak ketulusan pada kata-katanya atau gue sendiri yang sudah sulit untuk menerima ketulusan.

Gue hanya berlalu setelah lepas dari pelukan nyokap.

"Joy, apa kamu baru saja mengabaikan mama?"

"..."

"..."

"Joy, hanya kamu yang mama punya. Satu-satunya harapan untuk mama. Mama akan lakukan apapun untuk membuat kita layak mendapatkan apa yang kita inginkan."

Langkah gue terhenti, dengan begitu cepat dia sudah berada di depan gue dengan tatapan meyakinkan dan meremas bahu gue. Gue tatap wajahnya, matanya, wajah gue, mata gue, kulitnya yang merupakan hasil perawatan salon, wajahnya yang jauh dari segala bentuk penuaan, dan mata itu, mata hitam tajam yang hampir membuat gue mengernyit jijik karena fakta bahwa gue mewarisi hal yang sama dari wanita ini.

"Mama sudah persiapkan semuanya Joy, kita harus mengorbankan lebih untuk mendapatkan yang lebih juga," ujarnya dengan sumringah.

"Dengan mengorbankan saya maksudnya?" kata gue spontan.

Dengan tatapan seolah terluka dia membalas gue, "enggak Joy, sama sekali bukan itu, mama kira kamu sudah mengerti apa arti semua ini, Joy."

"Apanya yang mengerti? Selama ini sama sekali nggak ada hal yang aku pahami dalam hal apapun yang mama rencanakan. Mama cuma berlindung dari kata kita. Kita semua tahu kalo ini semua untuk diri mama, untuk keegoisan mama sendiri."

"Joy, mama tidak akan mungkin mengorbankan kamu. You are my daughter, you are my everything."

"Everything, so you can use me to reach your own world. Saya kira saya salah untuk berada disini, dan saya benar."

***

Seperti hari-hari lainnya di rumah sakit, laki-laki itu masih setia duduk di samping ranjang berharap sang putri tidur terbangun dari tidur panjangnya.

Hari ini tepat Lala berulang tahun, dengan ditemani alat bernapas dan obat-obatan yang mengalir di setiap tarikan dan detak jantungnya, tidak ada yang lebih menyakitkan dibanding hari-hari yang berlalu.

Entah itu terik matahari, petir atau hujan yang deras. Mulai dari musim di mana cahaya matahari menusuk hingga menyebabkan pening sampai dengan hujan bergemuruh yang menyebabkan gigil semalaman, gadis itu tak juga kunjung menyapa bumi.

"La, ayo dong bangun. Katanya lo mau gue traktir es se-kontainer? Kalau lo gak bangun gimana caranya lo ngabisin es-nya coba. Lewat infus?" Lelaki itu mendecih.

"Hei No, masih disini?" Noah bangun dari duduknya setelah melihat kedatangan Hanun."Tante liat ada Ayis diluar. Samperin gih, kasihan tante liatnya," sambungnya.

"Iya, tan. Lagian Lala saya tepokin gak mau bangun-bangun, yaudah deh cerita-cerita dikit," ujar Noah dengan cengengesan.

"Dih, dasar lu gondrong." Tawa lepas langsung terdengar dari keduanya.

Dengan begitu Noah langsung membalas dengan riang sebelum benar-benar keluar dari ruangan itu. "Gondrong pamit dulu, tan!"

Helaan napas keluar dari mulutnya selepas keluar dari ruangan tersebut. Diliriknya objek yang tadinya menjadi pembicaraan antara dia dengan Hanun tak jauh dari tempatnya berdiri sedang duduk dengan kepala tertunduk. Meratapi nasib kah?

Dengan langkah pelan ia menghampiri sosok lelaki itu dan menyapanya.

"Gue Noah."

Dengan perlahan wajahnya mendongak dan meneliti sebelum membalas ucapan Noah.

"Ayis."

Ucapan Noah yang tiba-tiba membuat Ayis tersentak. "gue tau lo yang buat Lala ngelakuin hal itu, tapi gue gak akan mukul lo disini," Noah menatap Ayis tajam lalu melanjutkan perkataannya, "sebaliknya gue bakal nunggu Lala bangun dan mutusin apa gue harus melibatkan polisi."

Sedetik setelah lontaran kalimat dari Noah, Ayis mendengus dengan keras. "Lo tahu, dengan lo melibatkan orang lain hidup Lala bakal hancur. Gue cukup tahu diri dengan gak menyusahkan keluarga lo. Yang harus lo ingat cuma jauh-jauh dari cewek gue."

Darah Noah mendidih, tangannya sudah sangat siap untuk meraih kerah dan menatuhkan lawan bicaranya di lantai rumah sakit itu. "Hancur? Bahh... dengan mata telanjang pun orang lain bisa lihat jelas kalau dia sudah hancur akibat lo. Yang harusnya menjauh itu elo, kami sudah cukup kesusahan atas semua yang lo perbuat dan lo enggak akan kepikiran mengenai hal apa yang akan gue lakukan nanti. You don't deserve her at all, i'll watch you so gue gak akan kecolongan lagi." Sebelum bangkit dari duduknya Noah menyempatkan untuk menepuk pundak Ayis dan, "Good luck, karena sekarang gue gak yakin apa Lala masih bisa waras buat sama-sama lu," meninggalkan Ayis dengan wajah pucat pasinya.

***

Noah duduk di depan setir mobilnya untuk membalas pesan Carissa—pacarnya yang sedari tadi memenuhi notifikasi ponselnya.

Entah apa yang harus ia lakukan dengan tingkah kekanakan kenalan Eyangnya ini, tak pernah sekalipun Noah mendapati ponselnya sepi dari gangguan notifikasi gadis itu.

Kak, masa aku di gangguin om-om tadi.

Ew, aku merasa kotor pas mereka nanyain nomor aku.

Kak, besok kita jalan yuk. Can't wait to upload it at Instagram.

What are you doing?

Well kak, kata kenalan aku dia liat kamu di rs tempat dia koas. Siapa yang sakit?

Aku rasa aku mulai gendutan deh, temenin ke gym dong.

Kamu lebih suka aku pake baju yang warna peach apa coral?

Noah mengangkat kepalanya ketika mendengar suara tangisan seseorang.
Lelaki itu tak menemukan seseorang pun di sekitar mobilnya yang dapat bersuara sekencang itu.
Dengan ragu dia keluar untuk memastikan apakah dia telah menyerempet seseorang bahkan ketika ia belum sempat menggeser mobilnya.

Dilihatnya beberapa orang bergerombol yang sedang merekam sesuatu yang mereka tutupi. Dengan cepat Noah seakan mencari tau siapa tepatnya seseorang bodoh yang masih bisa menangis dengan kerasnya ketika dirinya mempermalukan diri sendiri.

"Eh itu mbaknya nangisnya kenceng banget."

"Dek, kamu jangan pernah nangis kayak gini ya, nanti dikira orang gila."

"Mama itu tatanya ladi nanis, kok nda di peyuk."

"Mbak, mbak. Kok malah nangis disini, nangis tuh di masjid minta ampun. Ckck anak muda jaman sekarang emang."

"Mbak ayo sini sama saya, saya sedia-in pundak buat embak."Dengan banyaknya suara di sekelilingnya Noah semakin heran bisa-bisanya gadis itu malah seolah tuli dan menangis semakin kencang yang membuat semakin banyak publik yang tertarik.

Sehingga akhirnya Noah melihat gadis itu diringkus petugas keamanan rumah sakit.

WE'VE JUST METTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang