You're Not Okay

117 26 0
                                    

Kalau kalian kira seorang Sharena Bianca Tari yang dikenal orang sebagai orang tereceh dan suka ngelawak sana sini itu gak pernah nangis. Well, kalian salah. Gue pernah beberapa kali nemuin dia nangis di perpus atau danau deket kampus. Gue bahkan nggak pernah tau alasan apa yang ngebuat dia nangis.

Kalian boleh bilang kalau gue pacar nggak berguna. Iya, gue akui itu. Gue nggak tau kenapa Rena masih belum bisa ngebuka cerita ceritanya ke gue padahal gue pengen banget denger bahkan bahu gue juga udah siap banget buat dijadiin tempat bersandarnya dia.

Dari yang gue tau, Rena itu walaupun luarannya kaya besi dan baja tapi aslinya dia lemah banget kaya kapas dikasih air. Berulang kali gue coba buat mancing dia supaya dia cerita sama gue tapi justru dia malah menolak mentah-mentah, alasannya selalu sama, "Aku nangis cuma karena nonton film Bri. Kamu gak usah khawatir lah hehehe" ya paling barter kalau gak nonton film paling habis ngeliat anak kucing mati dimakan induknya sendiri.

Kadang gue selalu merasa nggak adil, disaat gue punya masalah dan emang pengen gue pendem sendiri, tiba-tiba dia dateng mancing gue supaya gue cerita. Gue pernah sekali nangis di pundaknya gara-gara satu masalah yang buat gue ngerasa kalau gue nggak berguna hidup di dunia ini. Dia dateng, peluk gue erat banget dan buat gue kembali ngerasa nyaman. Dia selalu ada disaat gue down, tapi gue? Saat dia down pun gue sama sekali nggak tau.

"Hai Bri! Kamu udah lama disini?" Sapanya, membangunkan gue dari lamunan. Bisa gue liat matanya sendu, bulu matanya pun masih basah. Gue bener-bener bodoh nggak berani nanya kenapa karena gue pasti tau jawabannya selalu sama.

"Hngg hah? Oh enggak enggak, baru kok."

"Maaf ya kalau kamu nunggu lama, tadi aku abis ngeliat anak burung mati. Jadi aku kubur dulu."

Tuh kan.

"Kemarin kemarin anak kucing mati, sekarang anak burung. Lama-lama ini kampus kaya pemakaman hewan." Gue mendengus kesal. Kenapa sih dia nggak jujur aja kalau dia habis nangis?

"Ya... namanya kebetulan Bri! Udah ayo! Katanya mau nonton? Nanti terlambat loh." Ajaknya, lalu berjalan masuk kedalam mobil tanpa aba-aba dari gue. Disusul gue dibelakangnya.

Di dalam mobil pun kita sama sekali nggak banyak bicara, Rena sibuk dengan ponselnya dan gue dengan stir mobil. Hanya ada suara radio yang sedari tadi memecah keheningan. Kali ini gue bener bener muak dengan sikapnya yang biasa aja padahal sesuatu nggak baik lagi terjadi sama dirinya.

"Ren, kamu abis nangis ya?"

"Iya, gara-gara anak burung tadi. Emang masih keliatan ya?" Tanyanya seraya melihat pantulan wajahnya di kaca spion dalam.

"Ren stop acting that you're okay because I know you're not!" Sumpah gue nggak maksud buat ngebentak dia tapi gue bener bener capek ngeliat matanya sembab kaya begini.

"Bri... I told you, I'm okay. Just stop talking about it."

"Mau sampai kapan sih Ren kamu ngehindar nyeritain soal masalah kamu sama aku? Kamu yang selalu bilang kalau ada apa apa harus cerita but you're the one who break the rules!"

Tahan Bri, lo nggak seharusnya kasar sama dia.

"When I said I'm okay its means I'm okay, Bri. You shouldnt worry about me." Gue terbelalak mendengar jawabannya yang enteng.

"But you're my girlfriend! Aku punya hak buat itu!" Nggak gue sangka amarah gue memuncak, stir yang sedari tadi gue pegang berubah jadi samsak.

"Bri! Stop it! Aku udah bilang berapa kali sama kamu, aku nggak mau kamu khawatir sama aku. Aku nggak mau nambahin beban kamu karena pasti beban kamu sendiri pun udah banyak."

"Ya tapi nggak bisa gitu dong! Aku selalu cerita ya sama kamu kalau aku lagi mumet banget sama rutinitas. Coba mana kamu? Paling barter ya kamu ngeluh soal deadline, tugas numpuk, anak kucing yang nggak punya tempat tinggal. Aku tuh ngerasa kaya bukan pacar kamu tau nggak."

Hening. Rena nggak merespon sama sekali. Dia hanya menatap gue dengan mata berkacanya. Mungkin gue terlalu kasar sama dia, gue bener bener kehilangan kendali hari itu.

Buru-buru gue melipirkan mobil gue dan langsung merengkuhnya masuk ke dalam pelukan erat gue. Rena menangis sejadi-jadinya di dada gue sampai kaos yang gue pakai waktu itu basah. Gue mengelus helai demi helai rambutnya, berusaha membuat dia nyaman ada di pelukan gue.

"Maafin aku Bri..."

Cuma itu yang dia katakan. Nggak ada penjelasan lain, dan lagi lagi gue menyusun teka-teki itu sendiri.

Kopi, Novel Dan Jam 10 Pagi.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang