Prolog

654 27 10
                                    


Galvina tersenyum senang ketika menemukan Laksimana yang sedang duduk tenang dengan pandangan fokus pada buku yang dibacanya. Kacamata yang bertengger di hidung mancungnya menambahkan kesan tampan pada cowok itu. Kalau kalian mau membayangkan seberapa tampan Laksimana, lihat saja Kim Taehyung karena gantengnya sebelas dua belas dengan Kim Taehyung. Tapi tolonglah, kali ini cowok yang sedang membaca dengan kacamata minus itu milik Galvina, jangan direbut!

"LAKSI!" Galvina berteriak heboh.

"Sttttt..."

Mendengar desisan dari orang sebelahnya membuatnya terdiam kaku. Ia melihat sekeliling yang memandangnya tajam, membuatnya meringis pelan. Ia lupa bahwa ia berada di dalam perpustakaan.

Galvina meminta maaf dan membungkuk pada sekelilingnya, membuat mereka yang tadi menatap tajam kembali memfokuskan pada kegiatannya masing-masing. Melihat situasi sudah aman terkendali, gadis dengan rambut tergerai dan seragam putih abu-abu itu kembali memfokuskan pandangannya pada Laksamana yang berjarak lumayan jauh dari tempat ia berdiri.

Laksimana memandang Galvina dingin, tapi seperti biasa, pandangan tersebut sudah sering diperlihatkan jadi Galvina sudah terbiasa dengan pandangan itu.

Gadis itu berjalan riang mendekati Laksimana.

"Hai, Lak. Sendirian aja?" Galvina mencolek pelan dagu Laksimana, membuat cowok itu menghindarkan kepalanya. Ia tidak suka dengan apa yang Galvina lakukan sekarang.

Cowok itu memandangnya datar. "Ngapain lo ke sini?"

Galvina menduduki kursi kosong di sebelah Laksimana. Meja itu memang hanya diisi oleh mereka berdua.

"Boleh kan duduk di sini?" tanya Galvina memastikan.

Cowok itu memandang Galvina datar. "Sebelum lo izin juga lo udah duduk duluan," katanya ketus. Namun, Galvina hanya bersikap biasa saja, tidak merasa tersinggung dengan ucapan pemuda yang kini sudah kembali fokus pada bukunya.

Sudah sering Laksimana mengusir dan menolak gadis itu, tapi bukannya pergi, Galvina malah tetap teguh dan selalu ada di sekelilingnya. Jadi, Laksimana sudah paham betul dengan watak gadis itu walau diusir pun dia tetap tidak akan pergi.

"Pinter banget sih," katanya sambil menyenggol bahu Laksimana pelan.

"Bisa diem?"

"Bisa." Gadis itu merapatkan bibirnya berusaha tidak mengeluarkan suaranya tidak ingin mengganggu Laksimana yang sedang belajar, karena ia ingin menjadi calon pacar yang suportif bagi Laksimana suatu saat nanti. Ah, membayangkannya saja membuat ia bersemu.

Jika ia dan Laksimana resmi berpacaran, Galvina bersedia menemani Laksimana belajar di mana pun. Kalau zaman sekarang sih istilahnya library date, nggak papa deh walau Galvina nggak suka belajar, ia rela menemani Laksimana belajar asal ia menjadi pacarnya. Segila itu memang Galvina. Ya bayangkan dulu aja, semoga halunya menjadi nyata.

Galvina memandang Laksimana terpana. Dari dekat, cowok itu memang benar-benar tampan. Hidung mancungnya, bibir merahnya, kulit putihnya membuat Galvina tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Laksimana karena semuanya sempurna.

Dengan bertopang dagu, Galvina berkata pelan. "Kapan ya lo jadi pacar gue?"

"Itu nggak bakal terjadi," balas Laksimana pelan, tapi fokusnya masih pada buku yang ia baca.

Gadis itu menghela napas. Bibirnya mengerucut sebal. "Awas aja nanti suatu saat lo bakal tergila-gila sama gue! Sekarang sih belum ya, tapi takdir siapa yang tahu!"

"Sesuai apa yang lo bilang, takdir siapa yang tahu. Siapa tahu kita nggak ditakdirkan bersama," Laksimana menutup bukunya dan melepaskan kacamata minusnya.

Lalu pandangannya beralih pada gadis di sebelahnya. "Gue nggak suka lo! Gue nggak kenal siapa lo, tapi tiba-tiba lo hadir di kehidupan gue dan mengacaukan hari-hari tenang gue! Dan gue harap takdir berbaik hati menjauhkan gue dari lo. Mending lo fokus belajar, benerin nilai lo yang hancur daripada membuang waktu untuk hal-hal yang nggak berguna kayak sekarang!" Setelah mengatakan kalimat yang menohok hati Galvina, cowok itu berjalan meninggalkannya.

Galvina berdiri dari duduknya. Ia menatap punggung itu tajam, kedua tangannya terkepal kuat sampai kuku-kuku jarinya memutih. "Nggak apa-apa lo nolak gue sekarang, karena gue masih punya banyak cara buat bikin lo nerima gue di hidup lo. Suatu saat nanti, gue bakal jadi orang yang terpenting dalam hidup lo, Lak!" seru Galvina dengan penuh tekad.

Laksimana berhenti berjalan lalu menoleh dan tersenyum sinis. "Mau sebanyak apa pun cara lo, gue punya seribu kali lebih banyak cara buat ngusir lo dari hidup gue!" balasnya tajam.

Dia kembali berjalan tanpa menoleh ke belakang, meninggalkan Galvina yang menatap punggung tegap itu dengan pandangan yang rumit.

LAKSIMANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang