Eight

19 1 0
                                    

Plakk

Tamparan keras itu mendarat tepat dipipi mulus Rania. Semua seisi kantin tercengang tidak percaya. Bahkan Rania tidak merasakan sakit dipipinya setelah melihat siapa yang menamparnya. Sakitnya itu tepat mengenai hatinya.

"omongan lo yang harus dijaga.bener kata diska. Harusnya lo sadar diri. Gue itu udah punya pacar dan lo masih gangguan gue." Rania berdiri mematung ditempatnya. Pertahanannya sudah runtuh. Air matanya mengelir begitu saja membentuk sungai kecil dipipi Rania. Ulu hatinya mencelos mendengar kata Ivan.

" kak....kak Ivan nggak percaya sama gue? "Rania benar benar tak habis pikir pada Ivan.

" buat apa gue percaya sama, lo. "Rania tidak kuat lagi. Dia berlari meninggalkan kantin yang tadinya dikerumuni siswa yang sedang menonton acara variety show. Eh, ralat mereka menonton pertengkaran dunia ketiga itu. Terlalu berlebihan. Eva menyusul Rania. Sedangkan vian masih ditempatnya memandang Ivan dengan tatapan marah.

"lo jangan main tangan dong sama cewek." kata vian yang diselimuti amarah.

"emangnya kenapa? Lo nggak terima? Cewek kayak dia itu emang pantes digituin."diska tersenyum bahagia mendengar Ivan berkata seperti itu.

Vian menggeram kesal. Lalu pergi menyusul Rania.

***

" Gue mau pulang, va. "kata Rania yang masih berjalan dikoridor diikuti Eva dibelakangnya.

" yaudah, gue anterin, ya. "Rania hanya mengangguk.

Mereka berdua berjalan menuju parkiran tempat dimana mobil Rania diparkirkan.

" terus mobil lo, gimana? "tanya Rania yang melihat Eva naik dimobilnya. Tepatnya dikurai kemudi.

" nanti gue minta tolong sama vian, aja. Sekalian izinin kita. Habis istirahat kan masih ada pelajaran bahasa indonesia. "lagi lagi Rania hanya mengangguk.

Tak menunggu waktu lama, mobil Rania melaju membelah jalanan kota yang padat akan kendaraan. Rania terus saja menangis sepanjang perjalanan. Eva merasa tidak tega melihat sahabatnya seperti itu.

" udahlah ran. Sebenarnya gue udah capek, sih ngingetin lo. Tapi lo harus sadar,ran.kak Ivan udah punya pacar." kata Eva berusaha lembut agar tidak menyinggung perasaan Rania.

"coba aja gue bisa ngelupain perasaan gue sama dia, gue udah lakuin dari dulu, va. Tapi gue nggak bisa." kata Rania semakin menjadi jadi.

"sekali lagi gue bilang, lo nyerah aja, ran. Kak Ivan nggak bakal ngelirik lo. Gue nggak tega ngeliat lo dikasarin kek tadi. Gue sayang sama lo, ran." Rania memeluk Eva erat. Seakan tidak ingin melepas pelukannya itu.

"yaudah hapus air mata lo itu. Lo mau ditanya macam macam sama bokap lo." Rania hanya mengangguk lalu turun dari mobil. Ya, mereka sudah sampai didepan rumah Rania sedari tadi.

Rania bergegas masuk kedalam rumahnya setelah melihat Eva pergi. Eva meminjam mobil Rania untuk dipakai pulang. Rania hanya iya iya saja sahabatnya meminjam mobilnya.

"kamu bolos lagi?" suara berat dari pria paruh baya yang berdiri didepan Rania. Rania hanya berdehem mendengar pertanyaan ayahnya. Malas rasanya harus berdebat lagi dengan bokapnya ini.

"masalah apa lagi sampai nangis kayak begitu?" hah. Papanya ini memang tidak mengenal situasi. Sudah melihat anaknya bersedih masih saja ditanya tanya.

Lagi lagi Rania tidak menjawab pertanyaan bokapnya. Dia memilih melangkah mendekati tangga untuk segera masuk kedalam kamarnya.

" kita bakalan ke jepang disemester terakhir kamu." Rania menghentikan langkahnya mendengar ucapan bokapnya. "kita akan menetap disana." lanjutnya yang lantas membuat Rania berbalik memandang ayahnya tidak percaya. Air matanya semakin deras mengalir.

Rania langsung berlari menaiki tangga dan masuk kedalam kamarnya.

"arrggghh..." erang Rania frustrasi. Kenapa ditengah tengah kesedihannya ayahnya justru menambah kesedihan itu. Rania sudah sedih diperlakukan seperti itu oleh Ivan. Sekarang apa lagi? Bokapnya menyuruhnya menetap di Jepang dan melanjutkan studynya disana?

Rania benar benar sial. Dia menenggelamkan wajahnya dibantal empuk miliknya. Menangis sejadi jadinya sampai tidak sadar Rania tertidur.

My hopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang