BAB I: Goodbye, You!

479 7 0
                                    

“Zefa sayang apa kamu yakin?” Tanya entah yang keberapa kalinya dari seseorang yang paling menantang keputusan yang aku ambil ini. Dan untuk yang entah keberapa kalinya aku menjawab, “Iya mamaku sayang.” Dengan nada yang makin lama semakin tak bersemangat. Wanita paruh baya yang masih terlihat sangat cantik dan anggun ini hanya bisa diam sambil membantuku memasukan seluruh pakaian yang akan kubawa pergi nanti. Mama memang seperti itu. Sekesal ataupun seketidak sependapatnya dengan anak-anaknya, beliau masih saja mau menerima segala hal yang di inginkan buah hatinya, meskipun harus melepas anak perempuan satu-satunya ini untuk pindah.

Aku, Zefanya Nadiva Prawisnu, seorang gadis yang  mencoba segala keberuntungannya untuk mendaftar kesuatu perusahaan multinasional yang berbasis di benua Amerika itu. Berpegang teguh dengan surat kelulusan dari Universitas negeri terbaik se Indonesia dengan memperoleh predikat Cum Laude membuatku semakin berani uuntuk mencoba membuka peluang untuk hidupku kedepannya. Bukan bermaksud untuk sombong, hanya membanggakan diri sendiri.

Perjuanganku selama kurang lebih empat tahun akhirnya terbayar lunas dengan segala apa yang telah aku peroleh saat ini. Satu tujuanku, yaitu untuk membuktikan kepada semua orang bahwa aku bisa berhasil tanpa campur tangan kedua orangtuaku. Tapi, bisik-bisik oranglain memang tak akan pernah padam. Mau bagaimanapun aku mencoba menepisnya, omongan hal seperti itu akan selalu mengikutiku kemana saja. Apapun yang aku lakukan, apapun yang aku peroleh, pasti akan disangkutpautkan dengan orangtuaku. Maka dari itu, aku menolak dengan keras untuk bekerja di perusahaan yang di rintis oleh Papa, dan memutuskan untuk melamar pekerjaan diperusahaan lain, dan kalau bisa di luar negeri yang mana tidak ada yang bisa meremehkan kemampuanku hanya karena aku adalah putri dari seorang Farlan Prawisnu, Wakil Mentri Ekonomi dan seorang Pengusaha yang sukses.

“Amerika itu jauh loh sayang.” Perkataan polos mama membuatku tertawa. Aku rasa mama sudah kehabisan akal untuk menahanku untuk tetap di Indonesia meskipun tak perlu lagi untuk bekerja di perusahaan keluarga. “Zefa juga tau itu, Mamaku sayang.” Balasku lembut. Jujur, membuat mama sedih seperti ini adalah hal yang paling terlarang untuk aku lakukan. Mama adalah sosok paling periang yang aku tahu, dan murah senyum. Cukup sulit untuk membuat mama mengizinkanku pergi. Segala argumentasi yang aku miliki ternyata juga belum cukup untuk meyakinkan mama bahwa aku sanggup hidup mandiri di Negara orang lain. Di matanya aku akan selalu menjadi putri kecil kesayangannya. Thanks God, berkat campur tangan papa yang lebih bijaksana akhirnya mama mau mengizinkanku juga dengan berat hati. Papa mengizinkanku dengan suatu syarat, yaitu bahwa aku harus tinggal dengan adik papa yang sudah menetap lama di Amerika. Alasan yang diberikan cukup klise bahwa supaya tetap ada yang mengawasiku dan merawatku―dan, ya, terpaksa aku terima.

“Sudahlah, Ma. Zefa kan nanti bisa pulang setahun sekali.” Suara bass khas papa menginterupsi pembicaraanku dan mama. Lagi-lagi aku tertolong oleh kehadiran papa. “Iya mama tau. Tapi tetap aja rasanya berat.” Ucap lirih mama. Aku mencoba meyakinkan mama bahwa aku akan tetap memberi kabar seperti biasanya meskipun terbentang jarak yang jauh dan berbeda zona waktu.

“Kalau begitu kamu cariin mama menantu bule ya.” Aku dan papa tertawa mendengar permintaan aneh mama. “Apapun akan zefa lakukan untuk mama.” Janjiku pada akhirnya.

“Tapi mama gak mau menantu dari keluarga yang aneh-aneh, loh. Kamu harus tetap memperhatikan bebet, bibit, dan bobotnya.” Wejangan mama ini juga disetujui oleh papa.

Menyenangkan sekali bisa berkumpul dengan orang-orang yang paling aku kasihi. Aku pasti akan sering merindukan suasana kekeluargaan seperti ini jika sudah menetap di Negara orang lain. Tak akan ada lagi rengekan mama untuk menemaninya kemanapun, baik acara resmi ataupun hanya untuk pergi kesalon langganannya. Tak akan ada lagi yang menemaniku bermain catur di sore hari sembari membahas mengenai permasalahan yang terjadi di Indonesia ini kecuali Papa. Tak akan ada lagi yang menerobos masuk ke dalam kamarku hanya untuk membuat gaduh dengan bola basketnya seperti yang Garvin lakukan setiap malam.

Love HurtsWhere stories live. Discover now