BAB 1: THE ENCOUNTER

228 30 31
                                    

New York, 2024

"Nih."

Bibirku tersenyum melihat banana chocolate cake yang baru saja matang di dalam oven, mengeluarkan aroma dalam kepul asap yang menggiurkan. Aku mengambil alih, memberikannya kepada lelaki di depanku kini yang sudah memasang wajah kesal sekaligus marah.

"So, lo panggil gue ke sini cuma mau ngasih ini? Ini yang namanya urgent?!" matanya melotot, dia mendelik membuatku semakin tertawa lebar.

"Iya, ini lebih urgent dari apapapun!" seruku. Mengambil duduk di depannya dan memberikan sendok kecil padanya.

Dia mendengus, mengambil sendok dan mulai memotong bagian tengah cake. Lelehan coklat langsung lumer begitu cake terpotong. Wajahnya yang kesal perlaham mulai menghilang, digantikan rasa surprised begitu melihatku.

"Ini lo yang buat sendiri?"

Aku menopang dagu, mengangguk-angguk, "Kalau bukan gue siapa lagi?" aku ikut mengambil sendok, menyuap es krim coklat yang kutambahkan sebagai pelengkap. "Lagian kamu bilang katanya mau coba banana chocholate cake. Pumpung aku nganggur, sekalian aja aku buatin."

Lelaki itu memandangku dengan aneh, aku mendelik. Sedetik kemudian dia tertawa, menepuk kepalaku pelan. "Iya, iya, thanks ya, Lin." Dia tersenyum, sangat manis.

Aku terdiam ditempat. Jantungku bergetar tidak karuan. Wajahku pasti memerah. Aku bersyukur dia tidak melihatku dan menyendok potongan kue, memasukkannya ke dalam mulut. Menunggunya memberikan respon membuatku semakin berdebar. Ini tidak adil.

Bahkan sampai lima tahun berlalu, perasaan ini masih sama. Masih merasa hangat ketika dia tersenyum, masih merasa seperti ada kupu-kupu terbang kalau dia menaruh perhatian. Masih terasa seperti dulu. Segalanya masih sama.

"Gimana?"

Melihat ekspresi wajahnya, kentara sekali dia tidak suka. "Lumayan." Katanya.

Aku mencibir, ikut merasakan kue buatanku sendiri. "Hm, ini sih kepahitan." Gumamku. Dia mengangguk. Aku jadi merenung. Rasa cake ini sama seperti perasaanku padanya. pahit jika mengetahui sampai sekarang, aku hanyalah sebatas sahabat baginya, tapi manis, begitu dia menaruh perhatian kecil untukku. Apa aku berlebihan? Tidak, aku hanyalah orang yang tengah jatuh cinta.

"Nggak apa-apa. Cuma kebayakan coklat. Kalau coklatnya dikurangi rasanya pasti pas." Dia lagi-lagi tersenyum. Kuharap, aku juga bisa mengurangi pahitnya mencintaimu sendirian.

Ah, senyum itu, senyum yang dulu sangat langka kujumpai dan hampir tidak pernah terlihat. Tapi lelaki di depanku ini seperti lelaki lain yang baru saja diupgrade ke versi baru. semakin ke sini, semakin dia baik. Dan semakin ke sini, aku tidak bisa menghentikan perasaanku yang sepihak.

Iya, aku tahu. Mencintainya dengan diam dan selama ini, akan tidak adil baginya. Tapi bukan berarti aku bisa memberitahunya. That's not simple as that. Banyak sekali yang kupertimbangkan dalam waktu lima tahun, sampai-sampai tidak sadar, bahwa waktu cepat sekali berlalu.

"Makan yang bener. Selalu kayak anak kecil."

Aku gelagapan, kembali dalam kesadaran. Tapi lelaki itu sudah mendekat, mengulurkan tangannya. Belum sempat aku menyadari, tangannya mendarat di bibirku, mengusap belepotan coklat yang menempel dan kembali menebar senyum.

Aku terlau kalap untuk meredam perasaanku. Tubuhku terlalu kaku menerima serangan yang tiba-tiba. Jantungku tiga kali lipat lebih berdebar dari sebelumnya. Dia, selalu mampu membuatku mati kutu. Saking paniknya, tanganku sampai menyenggol loyang kue di sampingku. Menimbulkan bunyi gelotak.

BRAGA (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang