Sampai aku kembali ke sekolah, aku tidak melihat Braga. Biasanya sekolah selalu heboh karena berita Braga yang ini lah, yang itu, yang memukul ini, menendang itu bla bla bla. Dan yang tidak aku mengerti, apa alasan Braga melakukan kejahatan semacam itu? Apa memang memukul orang adalah hobi? Jika memang begitu, fix he's a psycho!
Kalimat Berlina akhir-akhir ini begitu menggangguku. Apa memang dalam Braga yang kejam adalah Braga yang rapuh? Apa dengan begini, dia bisa menyembunyikan semua kesedihannya? Dengan sorot mata hitamnya yang kosong, apa memang dia sangat kesepian? Apa yang dia cari dengan melakukan hal ini? Menjadi serigala sekolah, apa dia ingin lari dari semua masalah?
Aku menghembuskan napas panjang melihat kertas memo yang ada di tangan. Begitu banyak pertanyaan yang berkelebatan dalam kepalaku hingga aku lupa, bahwa aku membenci lelaki itu. Di kertas memo tertulis alamat lengkap rumah seseorang. Berlina bilang, itu rumah sahabat dekatnya Braga. Kupikir, lelaki semacam dia anti dengan berteman. Tapi bahkan Braga memiliki sahabat sejenis yang tidak pernah aku punya.
"Masih mau cari Braga?"
Irfan sudah berdiri tepat di depanku. Aku membuang napas.
Terkahir kali Irfan ikut ke rumah Berlina, dia diam-diam menguping percakapan kami dan membuatku kesal. Lelaki itu bahkan melarangku untuk membantu Berlina mencari Braga. Dia tidak memberiku alasan jelas, tapi kukuh melarangku.
"Jangan cari dia, bahaya." Katanya kesekian kalinya. Aku memutar bola mata.
"Tapi aku harus, Fan." Aku lelah mengatakan ini berulang kali, membuat lelaki itu mengerti. Ya, aku paham, Irfan mungkin menganggapku sangat berarti. Dia mungkin menganggapku seperti seorang teman yang tidak boleh berdekatan dengan si serigala sekolah. Aku mencoba memahami ke khawatirannya. Tapi tidak peduli berulang kali aku berpikir, dari awal aku tidak mendoktrin Braga itu membahayakan. Hanya saja, dia memang menyedihkan memanfaatkan kekuatan eksternal dan internalnya meski memang sempat membuat nyawaku di ujung tanduk.
Aku tidak pernah mengatakan bagian dicekik dua kali itu ke Irfan. Yang ada dia akan semakin keras melarangku pergi. He's my good bro. Dia seperti kakakku sendiri. Aku percaya dengannya, tapi ini lain soal. Dan satu lagi kenapa aku percaya dengannya, karena dia anteknya Bunda yang memang diberi mandat khusus untuk menajagaku di sekolah. Irfan mengenal Bunda dengan baik dan Bunda mengenal Irfan sebagai teman pertamaku di SMA dengan baik. Mereka bersekutu, yang kadang membuatku sebal.
Bunda memang berlebihan. Lebih-lebih Irfan mau-mau saja dan menjalankan tugasnya dengan baik. Menyebalkan.
"Aku ketemu Braga cuma mau kasih undangan. Setelah itu udah." Terangku lagi. Irfan masih menunjukkan wajah tidak suka. Jangan ngomel, plis.
Lelaki itu menghembuskan napas panjang, menatapku dengan dingin. "Aku tetep nggak setuju. Aku nggak suka kamu deket-deket sama Braga. Tapi aku nggak bisa ngelarang lagi. Terserah kamu." Putusnya kemudian berbalik pergi. Irfan akhir-akhir ini selalu memarahiku jika ada saja topik tentang Braga.
*****
Tanganku membolak-balik kertas itu dengan bingung.
Di sini tempatnya kan? Kepalaku memutar, mengamati sekitar. Bukannya rumah, tapi yang tersaji di depanku sekarang ini adalah bengkel motor besar. Anehnya, tidak terlihat pegawai bengkel yang bekerja melainkan hanya satu sosok di ujung yang terlihat mengubek-ubek mesin mobil, sekarang yang kulihat, mobil itu seperti buaya dengan mulutnya yang membuka lebar dan kepala orang itu tengah masuk di dalamnya.
Pada akhirnya, aku ke sini sendirian, mengabaikan Irfan. I'm sorry for him.
"Cari siapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
BRAGA (REVISI)
Teen Fiction🌿🌿🌿🌿🌿STORY FINISHED🌿🌿🌿🌿🌿 "Dia kukenal sebagai serigala sekolah. Bukan karena tingkahnya, tapi karena kebengisannya yang melampaui malaikat maut." Mataku pelan-pelan mulai menajam. Suhu tubuhku mulai menghangat. Aku mengumpulkan kesadaran d...