Seminggu lewat sejak wisuda berakhir dan aku merasa aneh karena Braga. Bahkan sejak hari itu, kepalaku terasa penuh akan lelaki itu. Kadang waktu, wajah dinginya berseliweran tanpa permisi. Aku tidak tahu dengan diriku yang seperti ini. Seperti aku akan merasa sedih begitu teringat akan nasib sial Braga dan kesal pada siapapun yang merubah lelaki itu menjadi seorang monster. Aku tidak tahu kenapa. Jadi jangan salahkan aku.
Perasaanku sekarang, terasa lapang seperti langit malam. Aku menghela napas dan mengintip mesin waktu di pergelangan tangan. Baru saja aku selesai check up untuk melepas kruk. Rasanya nyaman sekali menggunakan kaki dengan bebas. Dokter bilang hampir 96% kakiku sembuh. Tapi masih ada dua jadwal check up lagi untuk kudatangi rutin.
Aku mendengus. Irfan tadi pamit pulang lebih dulu. Katanya ada urusan mendadak yang membuatnya begitu dilema dan meminta maaf padaku berkali-kali. Tanganku meraih minuman di mesin pendingin dan berjalan ke kasir. Ah, perlu kuberi tahu, aku sudah berbaikan dengan Irfan. Dia yang marah lebih dulu tapi juga menyapaku lebih dulu. Marahnya lelaki itu tidak pernah lebih dari tiga hari. Haha.
Kakiku keluar Indomaret dan meneguk minuman sembari duduk di kursi rest. Well, tidak masalah aku ditinggal sendirian. Aku sudah terbiasa dan bisa pulang sendiri. Tidak perlu dilebih-lebihkan atau merasa kesal. Toh dia memang sedang ada urusan penting.
Begitu mataku menjelajahi sekitar, meja mendadak bergetar. Ponselku berdering. Aku melihat nama Irfan tertera di layar. Bibirku langsung terkembang, he's always know when I'm need him.
"Apa?" kataku tanpa basa-basi.
"Kamu di mana?" mataku melirik tulisan Indomaret yang berwarna merah kuning biru. Bibirku menggumam.
"Hm, aku udah sampai rumah." bohongku.
"Yakin? Naik apa tadi? Sori ya?" tawaku meledak seketika. Sebegitunya ya Irfan mengkhawatirkanku? Tapi ya, terima kasih untuknya.
"Aku naik taksi. Iya, udah." Aku diam sejenak, "Gimana urusanmu?"
Terdengar helaan napas penting. "Nggak terlalu genting. Nyesel aku ninggalin kamu,"
Yeah, pasti. Kau harus menyesal, boy!
Aku terkekeh lagi. "No problem. Aku bisa sendiri. Aku bukan anak kecil."
Aku meneguk minumanku lagi, ah. Malam begitu indah dan sayang untuk dilewati. Aku memutuskan untuk berhenti sejenak dan pulang beberapa menit lagi. Ponsel masih tertempel. Irfan berceloteh panjang lebar. Aku hanya menjawabnya dengan jawaban singkat. Sesekali mengangguk meski dia tidak tahu.
"Marleena."
Sebuah siluat lewat bersama dengan suaranya memanggilku. Kepalaku mendongak begitu mendapati seorang gadis berbaju pink bunny. Tenggorokanku mendadak kering. Aku menelan ludah berulang kali, mengontrol diri. Tapi tubuhku terlanjur kaku. Aku bahkan tidak bisa melakukan hal kecil seperti menelan ludah.
"Hai." Dia berkata lagi, kali ini dengan senyuman lebar. Senyuman yang sama seperti waktu itu. Napasku mendadak sesak. Tangaku lemas.
"Mar, hallo?" Irfan memanggil dari telepon. Aku ingin meminta Irfan datang ke sini sekarang, tapi bagaimana? Aku sudah terlanjur mengatakan kebohongan. Jariku terpeselet menekan tombol merah. Panggilan terputus. Beberapa panggilan masuk kemudian, tidak terjawab. Jariku tak kuasa menerima telepon.
"Mar, kenapa? Kamu baik-baik aja kan?" gadis itu memegang pundakku, aku menepis tangannya dan sedikit menjauh.
"Kenapa kamu di sini?" aku menata napasku, menata ucapanku. Kali ini, apa aku sanggup menatapnya seperti ini? Seolah yang lalu itu bukanlah sebuah hal yang penting?
KAMU SEDANG MEMBACA
BRAGA (REVISI)
Dla nastolatków🌿🌿🌿🌿🌿STORY FINISHED🌿🌿🌿🌿🌿 "Dia kukenal sebagai serigala sekolah. Bukan karena tingkahnya, tapi karena kebengisannya yang melampaui malaikat maut." Mataku pelan-pelan mulai menajam. Suhu tubuhku mulai menghangat. Aku mengumpulkan kesadaran d...