Gadis itu menyudahi kegiatannya dengan berat hati. Menutup novelnya kasar. Dia membuang napas lelah yang bercampur kesal.
"Apa lagi?" Meia menatap bergantian pada orang-orang yang kini mengelilinginya.
"Apa lagi?" Lizie mengulang dengan nada tak percaya. Bola matanya berputar muak.
Joe mengangkat telunjuk di hadapan hidung Meia, "Karena dirimu, aku mendapat peringatan dari kepala sekolah, kau tahu?"
"Oh, lalu?"
"Orang-orang di kelas lain mulai membicarakan Joe. Nama baik Joe sekarang tercoreng. Sadari itu, dasar gadis bodoh!" Lizie mendahului Joe menyahut.
"bukankah dari dulu memang sudah tercoreng?" Mata Meia membulat terkejut. "Bahkan aku kira wajah dan penampilannya dari dulu sudah tercoreng."
Serupa gunung aktif, magma yang sejak pagi anak-anak nakal itu timbun meledak seketika. Kali ini Joe lebih dulu menarik kerah Meia penuh gusar.
Gadis itu tidak menunjukkan sedikit pun rasa takut, "kalian tahu? sebenarnya aku punya kuasa mengusir kalian dari sekolah ini. Apa kalian akan tetap begini?"
Kumpulan pem-bully itu, walau tahu Meia berengsek tapi menyadari juga kalau sebenarnya gadis berkepang itu pandai mengendalikan batasan-batasan atas kekuasaannya.
Meia tidak mungkin sampai hati untuk mengusir siswa-siswa di sana.
Dan konyolnya adalah, anak-anak itu memanfaatkan belas kasih Meia untuk bersenang-senang.
"Siapa peduli," Erna, salah satu anggota Lizie squad menantang. "Kalau dipikir-pikir, apa kau tidak malu menggunakan otoritas dari ibumu yang jalang itu?"
Meia menaikkan satu alis, "Apa maksudmu?"
"Jangan berpura-pura bodoh, kami sudah tahu," balas Erna. Gadis berkulit gelap itu melirik ke arah Liana, kutu buku berkacamata yang sepertinya dipaksa nimbrung bersama anak-anak itu.
"Ru-rumahku terletak tidak jauh dari salah satu klub besar di pinggir kota," Liana mulai bicara canggung. "A-aku dulu heran kenapa nyonya Lyndis tidak kunjungan ke sekolah lagi hingga sekarang. Kukira beliau sibuk. Ta-tapi pada akhirnya aku tahu. Aku melihatnya, Meia. Ibumu sering bersenang-senang dengan pria di luar sana."
Meia terperangah. Apa yang ditutupi keluarganya selama ini diketahui penduduk sekolah.
Perlahan Joe melepas cengkeraman tangannya di kerah gadis itu. Tersenyum puas melihat ekspresi Meia.
Lizie tersenyum miring, "Dengar? Itu kesaksian yang cukup terpercaya, lho. Dengan taktik apa lagi kau akan membantah?"
Meia tidak membalas.
"Ternyata keluarga terhormat belum tentu juga layak dihormati."
"Benar."
"Kurasa hobi ibunya akan segera menurun ke generasi selanjutnya."
"Hahaha."
"Bagaimana, ya, cara mengatur waktu antara bekerja dan main bersama pria?"
"Atau jangan-jangan pekerjaannya adalah...."
PLAKK!
"BERISIK!" jerit Meia.
Hening. Lizie squad mematung.
Terutama sang ketua, Lizie, yang merasakan panas luarbiasa di pipinya.
PLAKK!
"KURANG AJAR!"
Meia menyentuh pipinya yang berjejak merah, menatap liar ke iris Lizie. Merasa ingin membalas tamparan itu lagi, tapi kedua lengan Joe menahan kedua lengan gadis itu sekuat tenaga.

KAMU SEDANG MEMBACA
My Prince of OZ
FantasíaMeia Lyndis adalah seorang anak terbuang, baik itu di rumahnya maupun di sekolah. Semua orang yang ditemuinya selalu memasang tatapan tajam kepadanya. Namun, suatu hari, muncul satu-satunya orang yang memandang Meia dengan lembut. Dialah Eunar Dapha...