[CHAPTER 5]

84 15 3
                                    

Yamato menemukan tempat favorit untuk mengawasi Okita. Sebuah pohon jeruk yang tumbuh menjulang tak jauh dari rumah pria itu. Dengan duduk di ranting teratas, Yamato dapat melihat halaman belakang rumah peristirahatan tersebut, tempat Okita banyak menghabiskan waktunya. Dia menuruti permintaan Miyu untuk tidak bertemu langsung dengan Okita. Yamato tersenyum pahit, Okita hanya mengenalnya sebagai sebilah pedang bukan dirinya yang sekarang.

Ketika minggu berganti bulan, udara semakin gerah pertanda puncak musim panas telah tiba. Yamato masih berada di tempatnya sambil mengipasi dirinya dengan kipas kertas hadiah dari toko dango, ketika Okita berjalan keluar dari rumah dan duduk di teras belakang. Dilihatnya pemuda itu tidak lagi tulang berbalut kulit. Wajahnya lebih segar dengan senyum mengembang, seperti yang Yamato ingat sebelum penyakit pernapasan menyerangnya. Miyu tidak berbohong, obat yang dia berikan benar-benar sanggup menyembuhkan Okita.

Yamato terdiam ketika mengingat gadis itu, bagaimana keadaan di Citadel sekarang? Apakah Kashuu baik-baik saja? Apakah dia masih bertarung di sisi Miyu untuk menghentikan kuasa jahat mengubah sejarah? Apakah mereka terluka?

"Tidak! Tidak!" gumam Yamato sambil menepuk kedua pipinya beberapa kali untuk menghalau rasa rindu. Dia sudah memutuskan apa yang dia lakukan dan dia harus teguh pada pendiriannya. Dia harus memastikan Okita hidup, melewati malam ini.

19 Juli 1868. Yamato masih ingat dengan jelas apa yang akan terjadi, hal yang ingin dia ubah. Kelebatan ingatan kembali muncul dalam benaknya. Okita yang kepayahan, suara batuk yang memecah keheningan malam dan hembusan napas terakhirnya masih terdengar jelas di telinga Yamato.

"Tenang, tenang...." Yamato mengulang dalam hati berkali-kali. "Hari ini akan berlalu."

Matahari bergulir pelan ke arah barat lalu tergelincir di batas cakrawala mengubah langit menjadi kelam dan bintang-bintang memberanikan diri keluar dan bersinar. Bulan setengah penuh menggantung tinggi di langit. Yamato masih berada di tempatnya, menatap ke arah rumah yang kini sudah gelap. Dia menghitung. Sebentar lagi tengah malam. Malam dimana harusnya Okita menghembuskan napas terakhirnya. Dia ingat usaha terakhir Okita meminta pertolongan yang nyatanya datang terlambat. Dia ingat ucapan terakhir tuannya itu. Dia ingat semuanya.

Yamato menelan ludah. Menanti detik demi detik berlalu sambil menahan napas. Didengarnya suara burung terbang di atas kepalanya. Didengarnya suara para pemabuk di ujung jalan. Suara anjing menggonggong dan suara-suara lain mengisi keheningan malam. Yamato menunggu lebih lama. Kemudian, terdengarlah suara yang dia inginkan. Dari kejauhan lonceng dari kuil berbunyi dua belas kali tanda tengah malam telah lewat.... Pemuda itu menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya. Tidak ada suara batuk parah, tidak ada derap langkah dari Okita Mitsu, tidak ada teriakan histeris. 19 Juli 1868 kali ini berjalan dalam tenang.

Kelegaan mengalir dalam benak pemuda itu. Dia bersandar pada batang pohon. Badannya terasa lemas setelah ketegangan melepaskannya. Sesaat dia hanya bisa terdiam, merasakan bebannya terangkat, bernapas dengan penuh kelegaan merasakan tubuhnya ringan bagai bulu.

Pelan-pelan dia merasa matanya panas. Air mata kembali membanjiri pelupuk mata. Sebuah senyum tampak di wajahnya. Akhirnya, akhirnya, dia berhasil. Okita hidup lebih lama. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangannya dan menangis. Harapannya selama ini terkabul. Dia tidak lagi peduli konsekuensi yang harus ia tanggung setelah ini karena telah mengubah sejarah. Dia tidak peduli selama tuannya masih bisa bernapas dan tersenyum. Selama dia masih bisa melihat Okita hidup dan bahagia. Yamato menyeka air matanya dan terisak, tugasnya sudah selesai tapi dia masih ingin berada di sana. Melihat bagaimana tuannya melanjutkan hidupnya.

"Untuk apa?" tanyanya dalam hati. "Kamu tidak memiliki tempat di sisinya. Ada Yamato lain di sana."

"Mungkin karena aku egois." Suara lain dalam benaknya menjawab sementara pandangan matanya masih mengarah pada rumah Okita. "Aku hanya ingin bersama dia lebih lama. Aku ingin bersamanya hingga dia meninggalkan dunia dengan cara yang lebih tenang."

[END] - [TKRB Fanfiction] FarewellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang