[EPILOG]

199 17 12
                                    

Udara masuk ke paru-paru dengan serakah, membangunkan dirinya. Matanya terbuka lebar dan mendapati sinar matahari membuatnya setengah buta. Butuh beberapa waktu sampai dia sadar apa yang terjadi. Selaput putih perlahan luruh dari kedua matanya. Dilihatnya langit-langit berwarna hijau pucat yang familiar lalu ingatan demi ingatan menerjangnya bagai air bah.

Penyerangan ke kapal Kotetsu, senapan mesin, bunyi desingan peluru, rasa terbakar, darah dan ....

Okita.

Yamato langsung bangkit dan duduk. Rasa sakit kembali berdenyut dalam dadanya tepat di ruang kosong dalam hatinya. Dia melihat Okita ....

Mati.

Lagi.

Napasnya menderu. Suaranya tercekat. Matanya terbelalak liar, menahan air mata. Pada saat itu dia melihat selimut membungkus tubuhnya dan perabotan di sekitarnya. Penginapan.

Yamato menyadari di mana dia. Namun hal itu malah membuat dia bertanya-tanya.

Apakah dia bermimpi?

Dia masih ingat perih tubuh ketika ditembus peluru, terlalu nyata untuk diabaikan. Tidak, itu bukan mimpi.

Dadanya bergerak naik turun dengan cepat, memompa oksigen untuk mengisi permintaan otot-ototnya yang menegang. Digenggamnya futon dengan erat dan air mata menetes membentuk lingkaran gelap pada selimut yang menutupi sebagian tubuhnya. Tetesan kedua menyusul dan semakin banyak lingkaran hitam saling tumpang tindih di atas selimut putih tersebut.

Rasa bersalah menerjangnya bagai air bah. Dia tidak berguna. Dia telah gagal dan dia menangis sejadi-jadinya. Tidak peduli kalau suaranya akan menganggu orang, tidak peduli bila ada orang yang menganggapnya gila. Dia bahkan tidak peduli bila saat itu dunia runtuh menimpanya. Baginya, dunianya sudah hancur bersama dengan kegagalannya.

Pada saat itulah, dia merasakan sepasang tangan memeluknya dari belakang. Pelukan hangat yang sedikit meringankan sesak dalam dada. Dia mengenalinya sebagai Kashuu. Sahabatnya itu hanya diam dan mengeratkan pelukan.

Yamato terus menangis. Baru lima belas menit kemudian, tangisannya mereda dan selama itu Kashuu tidak sekali pun melepaskan pelukan walaupun dia memberontak dan berteriak meluapkan segala emosi. Tangisnya berubah menjadi isakan namun air mata masih terus mengalir dari kedua matanya.

"Apakah sekali lagi aku tidak bisa menyelamatkan Okita-kun?" ucap Yamato lirih, memohon. "Bisakah aku meminta padamu kesempatan kedua?"

Miyu yang duduk berlutut di hadapan Yamato tidak langsung menjawab. Dia beringsut mendekat. Gadis itu menatap mata biru yang masih berair itu dan berkata, "Yang kamu lihat itu hanyalah penglihatan dari masa depan yang akan terjadi ketika kamu memutuskan untuk memberikan obat itu pada Okita-san dan mengubah sejarah."

Miyu mengangkat rambut depan Yamato, memperlihatkan kanji "Mimpi" yang tertulis dengan sesuatu yang berpendar kebiruan di dahinya. Miyu mengusapnya dan tulisan itu berpindah ke telapak tangannya. Miyu meniupnya dan serpihan biru itu menghilang ke udara kosong.

"Kumohon! Berikan aku kesempatan sekali lagi untuk menyelamatkan Okita-kun!" pinta Yamato dengan sangat.

"Yamato!" jerit Kashuu frustrasi. Air mata ikut menggumpal di matanya yang terasa panas. "Cukup!"

Yamato merasakan tangan-tangan Kashuu bergetar, menahan emosi. Yamato menutup mata, merasakan rasa sakit menusuk dadanya tajam.

"Berapa kalipun kamu ingin mengubahnya, tidak akan menjamin masa lalu akan berjalan sesuai dengan keinginan kita." Miyu menggeleng. Matanya meredup, ada kesedihan di sana.

[END] - [TKRB Fanfiction] FarewellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang