[CHAPTER 7]

111 17 1
                                    

Peluru-peluru berdesing membelah udara, bersarang pada tubuh para pemuda berjubah biru toska. Seketika gerakan mereka berhenti dan terkulai. Terdengar bunyi tubuh manusia berjatuhan ke laut. Belum sempat merasa kaget, Yamato menyadari sebuah peluru melesat tepat ke matanya dan segera mengelak ke samping, menyelamatkan dirinya. Selagi napasnya menderu, peluru kedua menyasar dadanya. Mengandalkan insting bertahan hidup, pemuda itu tiarap membiarkan terjangan peluru menembus udara kosong.

Nyaris.

"Apa yang terjadi?"

Pada saat itu baru kepalanya berpikir, dadanya berdetak kencang setelah lolos dari kematian.

Mata birunya menatap liar mencari sang pencabut nyawa. Sepuluh meter di depannya, terlihat bunga api keluar dari moncong senapan mesin yang digerakkan oleh seorang prajurit kekaisaran, memberondong para penyusup. Ada sekitar dua senapan di atas dek, masing-masing memuntahkan peluru secara beruntun. Dilihatnya mayat-mayat terus berjatuhan, hanya tersisa setengah dari jumlah mereka. Yang berhasil selamat kebanyakan mereka adalah yang tiarap. Yamato tercekat, melihat kematian begitu pekat.

"Okita!" desisnya pelan. Dia berharap mati-matian agar tuannya itu masih hidup. Jantungnya berdegup kencang memompa adrenalin ke seluruh ototnya. Matanya nyalang dalam kegelapan, mencari setitik harapan di antara malam.

Betapa hatinya melonjak lega ketika matanya menangkap sosok yang familiar masih bertahan. Dilihatnya Okita melompat lincah menghindari besi panas yang mengarah kepadanya. Dia berhasil memperpendek jarak dengan senapan mesin yang memuntahkan puluhan peluru per menitnya. Yamato tersenyum, rasa bangga menyelinap ketika melihat tuannya itu mampu menandingi maut.

Yamato merayap mendekati Okita, sambil melihat pemuda itu menangkis beberapa peluru yang mengarah ke bagian vitalnya. Yamato bergerak perlahan, peluru masih berdesing di atas kepalanya. Dia hanya berjarak beberapa senti dari kematian. Suasana makin sunyi ketika hanya tinggal sedikit yang bertahan, jeritan-jeritan makin jarang tanda sudah banyak yang sudah tak bernyawa. Dek Kotetsu dipenuhi oleh mayat berjubah toska. Ini buruk, senapan mesin lain yang kehilangan targetnya mengarahkan moncongnya pada Okita, satu-satunya yang masih berdiri di gelap malam, hanya cahaya sekadarnya dari lampu dek kapal memberikan siluet pada tubuhnya yang ramping namun lincah. Yamato mempercepat gerakannya. Mata Okita fokus menghadapi senapan mesin di hadapannya dan tidak melihat ke arah utara di mana sebuah senapan mengarah kepadanya.

Dalam gerakan lamban, Yamato dapat melihat sebuah peluru mengarah ke dada pria itu. Matanya membelalak lebar ketika dada Okita ditembus peluru. Seketika, pemuda itu kehilangan keseimbangannya. Dia tersungkur jatuh, menahan bobot tubuhnya dengan pedang yang tertancap di dek Kotetsu. Darah menetes dari mulutnya.

"OKITA!!!!" jerit Yamato histeris.

Mulutnya masih menganga ketika melihat peluru kedua menembus lengan kanan Okita, membuat pria itu kehilangan penopang dan pipinya menghantam besi pelapis dek.

Tanpa berpikir akan nasib nyawanya, Yamato memaksa tubuhnya bangkit berdiri. Seluruh ototnya meregang mengerut seirama dengan langkah ketika dia berlari mendekati pemuda yang terbaring tak berdaya. Dia merasakan peluru berdesing di telinganya tapi seluruh indranya berpusat pada Okita yang berlumuran darah.

Dari jarak yang tinggal semeter, Yamato dapat mendengar desah napas terputus dari Okita. Dia dapat melihat pudarnya kehidupan dari mata hitam itu. Dia dapat merasakan jemari maut merengkuh pemuda itu dalam pelukan.

"Jangan sampai dirimu bertemu dengan Okita-san...."

Suara Miyu terdengar begitu jauh dalam pertempuran ini. Yamato sudah tidak peduli lagi akan larangan apapun. Dia sanggup menentang Sang Maha Kuasa untuk menyelamatkan Okita sekali lagi.

[END] - [TKRB Fanfiction] FarewellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang