🔥🔥🔥
Yang paling malesin sekaligus serem dari bagian kegiatan ini adalah ... pas momen ke kamar mandi malam-malam.
Sore tadi, waktu jam istirahat dan kami diijinin mandi, aku sama temen-temen cewek sama-sama kaget begitu tahu gimana perjuangan menuju tempat mandi.
Kami harus ngelewatin setapak kecil, turun ke arah timur dari area perkemahan. Jalannya juga naik turun.
Pada jarak tertentu sepanjang setapak yang kami lewati, terlihat ada tenda-tenda panitia juga.
Sekitar 100 meter dari tenda panitia terakhir yang kami lewati, barulah kami sampai di tempat pemandian. Posisinya lebih rendah dari posisi tenda.
Sebuah tempat pemandian sederhana dengan dua bilik, tanpa listrik, air harus nimba dari sumur yang ada di depan bilik.
Kata Mbak panitia yang nganter kami, bilik-bilik kamar mandi dan sumur yang ada ini merupakan hasil kerja sama jurusan dengan perhutani dan pemerintah daerah setempat, karena ternyata tempat ini sudah puluhan tahun jadi lokasi kegiatan mahasiswa jurusanku.
Sebenernya pihak perhutani pernah nawarin buat diajuin aliran listrik, tapi pihak dari himpunan nolak. Alasannya, biar lokasi ini bener-bener jadi tempat nguji mental kami yang biasa dimanjain dengan segala kemudahan di kota.
Kalaupun di area perkemahan kami ada listrik, itu terbatas. Dari genset yang dibawa nggak tahu dari mana dan oleh siapa. Gunanya buat ngecharge ponsel dan lampu-lampu emergency.
Tapi tetep aja menurutku ini gila!
Apalagi begitu malam hari.
Asli, ini kayak uji nyali!
Kami berdelapan, ditemani empat panitia cewek dan dua panitia cowok, jalan gandengan karena bener-bener nggak ada cahaya kecuali dari lampu senter.
Meski di luar tenda-tenda yang tersebar sepanjang setapak menuju tempat mandi ditaruh lampu emergency, dan ada beberapa kating lagi ngobrol di luarnya, tetap aja aku deg-degan.
Apalagi sepanjang jalan kami cuma dengar suara binatang malam, samar obrolan kating-kating tadi, dan langkah kaki kami sendiri.
"Mbak, kenapa di kamar mandi nggak dikasih lampu darurat juga?" tanya Sherly, salah satu temanku yang kebetulan jalan di depan.
"Pakai senter aja cukup kok. Ini kalian masih mending dikasih senter panitia yang terang. Dulu banget, katanya malah cuma dibekali lilin."
"Hah??? Serius Mbak???"
Mbak Tari yang kebetulan jalan di sampingku ngangguk pas aku nengok ke arah dia.
"Tapi bukannya lebih aman kalau ada lampu emergency, Mbak?" tanyaku.
"Tenang aja, nggak ada itu juga aman. Kalian tahu kenapa jumlah panitia acara ini hampir dua kali jumlah peserta?" tanya Mbak Tari balik. Kami sama-sama gelengin kepala karena emang nggak tahu. "Soalnya yang bagian jaga di luar area kemah itu banyak," jelas Mbak Tari.
"Iya, kalau kalian perhatiin, itu cahaya yang kelihatan sekilas-sekilas, sebenernya dari panitia yang lagi jagain kita," tambah Mbak Putri yang bikin aku sama temen-temen refleks ngedarin pandangan di tengah gelapnya malam.
