(SAFIRA)
Pukul 08.30 aku berangkat ke kampus, membawa sampel bunga matahari dalam pot mini. Hari ini saatnya presentasi. Karena Pak Anung agak sibuk dan hanya sebentar mengisi kelas, pengumpulan makalah melalui email dan kemarin adalah deadlinenya.
Saat aku sampai, kelas sudah mulai ramai membicarakan tentang pembunuhan-pembunuhan yang terjadi akhir-akhir ini dan juga tentang presentasi. Aku meletakkan tas dan sampel tumbuhan di atas meja, menyapa Asih. Dia membawa dua tanaman cabai yang tingginya baru sejengkal. “Jabai jawa, ya? Segar banget. Yang ngerawat pasti telaten tuh!”
Asih hanya tersenyum. Wajahnya agak pucat.
“Kamu demam?”
“Nggak kok. Sudah ngumpulin tugas, kan?”
Sudah dong. Gimana, siap presentasi? Katanya kamu dapat urutan awal.”Asih menghembuskan napas. Dia urutan kedua sesuai acakan asdos. “Grogi, Ra!” senyumnya masam.
“Santai saja. Semua kan sudah dipersiapkan. Eh, kamu lihat berita pembunuhan itu, nggak?”
Asih mengangguk.
“Tega banget. Kira-kira tujuannya apa ya? Dendam, asmara, rebutan wanita, bisnis? Ada yang ganjil. Gak masuk akal banget sampai segitunya...”
Kelas masih kurang lima menit lagi. Mulutku belum menutup saat Nana Nely dan kedua temannya mendekati meja Asih. “Hey, pecundang. Mana sampel tumbuhanku?!” Nana melipat kedua tangan di depan dada.
Asih menegang, terlihat dari wajahnya yang semakin kaku. “Ini” salah satu tanaman cabai di pot kecil disodorkan olehnya.
“Bagus” Nana mengangkat pot kecil itu. “Makalahku sudah dikumpulkan, bukan?” Alisnya yang hitam lekat terangkat sebelah.
Asih menatap Nana. Mengangguk pelan.
“Bagus! Bagus sekali kerjamu. Kamu tahu kan akhir-akhir ini apa yang sedang heboh?” suara Nana meliuk-liuk ditekan sana-sini. Bola matanya berputar-putar. “Ya, pembunuhan.” Dia menjawab pertanyaannya sendiri. “Dan kamu tahu kan, apa akibatnya kalau kamu tidak patuh padaku?!” Ada jeda yang cukup lama disitu. “Aku akan membunuhmu seperti korban-korban yang malang itu!” Nana tersenyum jahat. Asih menelan ludah. Dia tidak mungkin melakukannya, kan? Pikirku.
“Terima kasih, pecundang!” Nana kembali ke mejanya membawa pot kecil. Baru satu langkah dia berbalik lagi. “Sampel tumbuhanmu bagus” sebelah tangannya yang bebas mengelus lembut pucuk tanaman cabai Asih. “Sayangnya tanamanmu sama dengan punyaku, sama-sama bagus.” Ekspresi Nana dibuat sesedih mungkin.
Dengan tiba-tiba Nana merumat tanaman cabai sejengkal itu.
“Jangan!” Asih berseru panik. Hampir saja aku ikut berteriak.
“Upss...” Nana mengangkat tangan, meninggalkan dahan cabai yang berguguran dengan ranting yang patah tak beraturan. “Sayangnya, enggak boleh ada yang nyamain aku, pecundang!” Nana berbalik denhan iringan tawa dua temannya.
Asih buru-buru membenarkan cabainya yang ringsek. Tapi sia-sia. Cabai itu tidak akan bisa berdiri lagi.
Aku mendekat. “Kamu enggak papa, Sih?” aku khawatir. Mungkin pertanyaanku enggak penting. Jelas sekali Asih tidak 'tidak apa-apa'. Di terpukul. Aku menemukan sedikit dua bola matanya perlahan berkaca-kaca. “Orang kayak gitu enggak bisa didiemin!” Aku berbalik, hendak ke meja Nana di belakang.
Asih menahan tanganku. Dia menggeleng saat aku menoleh. “Enggak usah, Ra. Aku sudah biasa digituin.”
Astaga! Asih manusia bukan, sih? Baik hatinya minta ampun. Mungkin aku tidak akan menang melawan Nana dan dua temannya, tapi aku atlet karate waktu SMA. Setidaknya aku bisa membuat hidungnya mimisan sebagai ganti apa yang telah dilakukannya. Oh, otak pendekarku mulai keluar.

KAMU SEDANG MEMBACA
DEVILANGEL
FantasíaIni adalah sebuah cerita tentang manusia pemilik kekuatan. Pewaris kekuatan abadi. Manusia setengah iblis, juga manusia setengah malaikat. Bukan sekadar kisah cinta, tapi juga persahabatan, dan sesuatu yang disebut sebagai kehidupan. ...