Hari ini - merupakan hari pertama masuk sekolah setelah liburan akhir semester. Kabut saat itu masih tampak berlalu-lalang menutupi cahaya matahari yang belum bangkit sepenuhnya. Nara begitu sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk yang sebelumnya menggantung di lehernya. Tangannya kemudian menarik tuas pintu yang berada tak jauh di sampingnya.
Ketika pintu itu terbuka, dia dikagetkan oleh seorang anak kecil laki-laki tengah berdiri tegak membelakanginya. Nara mencoba mendekat pelan, tangannya hampir menyentuh bahu anak itu. Dengan tiba-tiba, kepala anak itu berputar 180 derajat ke arah Nara dengan posisi tubuhnya yang masih sama. Tatapan Nara langsung kosong, melihat wajah anak itu penuh luka dengan rahang bawahnya yang terlepas.
Kamar mandi itu terletak sejajar dengan dapur. Kakek yang kebetulan sedang menuju dapur untuk mengambil beberapa piring, langsung menghampiri Nara ketika dia melihat cucunya itu tengah mematung di depan pintu kamar mandi.
"Masih muda kok suka ngalamun, sekarang ganti baju terus sarapan. Hari pertama masuk jangan sampai telat kamu.." tegas kakek itu memperhatikan Nara yang sedikit terengah-engah.
"I-itu, a-ada ..." Nara ketakutan, dia mencoba menunjuk posisi dimana anak kecil itu yang tengah tersenyum menyeringai di belakang kakeknya. Entah apa, yang menyebabkan makhluk seperti itu ada di rumah itu.
"Dah. Nggak ada apa-apa. Salah siapa nggak pake kacamata, jadi halu kan. Dah.. sono cepetan ganti baju. Kakek tunggu di ruang makan,"
Kaki Nara melangkah pelan menuju kamarnya. Menyisakan kakeknya yang masih berdiri disana dengan wajah khawatir. Dalam hatinya cukup gelisah, apakah dia benar-benar bisa menjaga cucunya itu.
"Andai Putri masih ada, mungkin kamu akan lebih aman dari ini, nak!"
(...)
Beberapa puluh menit selanjutnya, suara lantang Kakek menusuk telinga Nara. "NARR. SARAPAANN.."
Nara yang mendengar itu langsung bergegas keluar kamar menuju meja makan. Dia duduk di salah satu kursi yang ada di meja itu. Wajah datarnya mengikuti arah kedua tangan kakeknya yang masing-masing meletakkan piring berisikan udang goreng mayo dan beberapa tumisan jamur ke atas meja.
"Cocok juga kamu Nar, pakai seragam itu." Sambil menyiapkan sebuah piring kosong di depan Nara.
"Oh iya, kata orang-orang, sekolah yang akan kamu datangi merupakan sekolah yang memiliki akreditasi paling tinggi di kota ini." Jelas kakek sambil mengambilkan Nara beberapa centong nasi putih.
"Katanya sih, sekolah itu juga punya koneksi yang dekat dengan pemerintah kota. Selain itu, banyak juga iklan yang terpampang di jalan dan jejaring sosial yang membuat sekolah itu cukup dikenal. Cuma ya itu, ada beberapa persyaratan dan biaya yang tinggi membuat banyak warga kota memilih sekolah umum untuk menyekolahkan anaknya."
"Nah, dulu ayahmu pernah kerja sama dengan pihak sekolah. Kata ayahmu, kamu dapet beasiswa untuk sekolah disana."
"Berkas yang udah ayahmu siapin, kamu bawa kan?"
Nara mengangguk. Dalam kepalanya terlintas masalalunya. Hal itu terus membekas di ingatannya. Apakah dia akan menerima perlakuan yang sama seperti di sekolah lamanya atau bahkan lebih parah?
Jika di sekolah umum saja dia bisa ter-bully, apalagi di sekolah barunya yang kemungkinan besar banyak pelajar yang berasal dari kalangan menengah keatas. Hal itu terus berputar di kepalanya. Dia cukup pesimis kali ini.
"Nar, maaf ya. Kakek nggak bisa anter kamu ke sekolah hari ini. Kakek harus buka cafe karena hari ini ada yang booking cafe kakek."
"Oh ya, nanti kamu motoran sama anak temen kakek ya! Udah kakek bilangin tadi pagi. Kebetulan dia sekolah juga di sana." lanjut kakek itu.