Dendam

86 3 0
                                    

   Hujan deras masih mengguyur kota. Aku terduduk lemas didepan ruang UGD. Basah kuyup karena derasnya air hujan tadi. Mataku sembab karena menangis. Aku menatap lemah kearah bekas darah ibu yang ada dibajuku saat aku memangkunya dalam perjalanan menuju rumah sakit tadi.

  Aku tidak tau harus apa. Sedari tadi ayah tak kunjung mengangkat telponku. Untuk menghubungi kak Rasyid juga tidak mungkin. Aku harus bagaimana? Pikiranku benar benar kacau.

(1 jam berlalu)

Aku masih menatap lekat kearah pintu ruang UGD . Berharap pintu itu akan segera terbuka dan keluar seorang dokter yang mengatakan bahwa ibu baik baik saja.

Aku tak henti hentinya menyebut nama Allah, memohon pertolongan dan berdoa semoga ibu baik baik saja.

Tak berapa lama. Pintu ruang UGD sudah terbuka. Dengan sigap aku menghampiri dokter yang baru keluar.

"Bagaimana keadaan ibu dok?" ucapku pelan

Dokter itu menghembuskan nafasnya. "Ibu kamu mengalami pendarahan yang cukup serius di bagian kepala, untuk saat ini dia masih belum sadarkan diri."

Ya Allah cobaan apa lagi ini. Rasanya sudah begitu banyak ujian silih berganti. Kuatkan ya Allah. Kuatkan hambamu yang lemah ini.

"Tapi ibu bisa sembuh kan dok?" tanyaku dengan penuh harap.

"Mungkin bisa. Tapi dalam waktu yang lama. Serahkan semuanya pada Allah. Saya pamit dulu."

❤❤❤

   Akhirnya Ayah mengangkat telponku dan langsung menuju rumah sakit. Jam 9 malam ayah tiba disini. Saat aku tanya ayah dari mana saja? Dia hanya tersenyum tipis dan menjawab "Ayah hanya menenangkan diri sejenak".

Dengan mudahnya Ayah menjawab seperti itu setelah seharian meninggalkanku dan tidak memberi kabar. Apakah Ayah tidak melihat kehancuran diriku disini?.

Ya begitulah, keluargaku sekarang. Berantakan. Bahkan aku tidak tau penyebabnya apa. Tapi nyatanya aku yang paling tersakiti disini.

Sudah larut malam. Tapi mataku masih tidak bisa terpejam. Mataku terus saja menatap kearah ibu. Berharap ibu cepat sadarkan diri. Kenapa harus ibu? Kenapa tidak aku saja yang ada diposisi ibu saat ini? Tidak henti hentinya aku bertanya pada diriku sendiri.

Sepertinya aku memang tidak bisa tidur semalaman ini. Mataku ngantuk tapi hatiku menolak untuk itu. Aku menghembuskan nafas pelan, lalu beranjak menuju kamar mandi mengambil air wudhu. Aku mengusap lembut wajah ku. Pipiku yang biru masih sedikit sakit. Ah.. Sudahlah aku tak ingin memperdulikan hal itu.

Seusai shalat tahajjud, aku mengambil Alqur'an didalam tas. Aku mulai membukanya, membacanya, dan meresapi setiap maknanya. Inilah satu satunya tempat yang membuat hatiku mulai berdamai. Ya. Bersama Alqur'an aku kembali menemukan ketenangan. Tidak terasa air mataku mulai mengalir. Terlebih saat aku sampai pada sebuah ayat.
"laa tahzan innallaha ma ana"
Jangan bersedih, Allah bersama kita.

Ayat ini memberiku semangat hidup kembali. Allah selalu bersama hamba hambanya yang sabar. Aku harus tegar. Aku tidak boleh terpuruk. Aku harus kuat menjalani ini semua. Aku mengusap air mataku dan menutup AlQur'an kesayanganku.

Tinggal beberapa menit lagi azan subuh. Setelah itu aku harus bergegas shalat dan bersiap siap. Karena Ayah memintaku untuk menjemput kak Rasyid pagi ini.

❤❤❤

Tepat jam 7 pagi. Aku dan pak Ridho berangkat menuju Pondok Pesantren Darul Hijrah. Tempat kak Rasyid mondok saat ini. Mungkin kami akan menempuh 3 jam perjalanan untuk menuju kesana.

Aku sudah tidak sabar bertemu kakak kesayanganku itu. Sudah sekitar 4 bulan lebih aku tidak bertemu dengannya. Tapi aku sedih. Karena hari ini menemuinya dengan membawa kabar buruk tentang kecelakaan ibu. Kak Rasyid juga pasti sangat terpukul dengan semua ini.

Aku masih menunggu kak Rasyid di ruang kunjungan pesantren. Ruang ini sangat sepi hanya ada beberapa santri yang sedang membersihkan ruangan. Sebenarnya kunjungan hanya diperbolehkan untuk hari libur saja. Tapi aku sudah meminta izin dengan ustadz untuk menemui dan membawa pulang ka Rasyid beberapa hari, karena ibu sedang sakit parah.

Ka Rasyid berlari kearah ku, senyuman teduh di wajah yang tampan itu sangat aku rindukan. Rasanya aku tidak tega menghapus senyuman itu dari wajah ka Rasyid.

"Ma shaa Allah ra.. Kaka rindu banget sama kamu. Tapi.. Tumben kamu kesini sendiri, Ayah sama ibu mana?"

Aku bingung bagaimana harus menjelaskannya sama ka Rasyid.

"Maira kesini buat jemput kaka pulang, ketemu sama Ayah dan ibu"

"loh kok pulang? Ini kan belum waktunya liburan Ra."

" ke.. Kemaren.. Ibu kecelakaan ka, sekarang Ibu dirumah sakit"

"Ya Allah...." seketika senyuman indah itu sirna dari wajah Ka Rasyid.

"Yasudah.. Kamu tunggu dimobil ra. Kaka mau ngambil tas sebentar."

Aku hanya mengangguk.

❤❤❤

Kami berangkat menuju rumah sakit. 3 jam yang sangat membosankan bagiku dengan kondisi hati yang kini hancur tercabik cabik. Sepanjang perjalanan aku lebih banyak diam dan melamun. Sesekali menjawab pertanyaan ka Rasyid dengan singkat. Aku melihat ka Rasyid menatap bingung ke arahku. Matanya seakan menyiratkan pertanyaan aku kenapa. Kakak  tidak perlu khawatir. Aku baik baik saja.

"Ra?" panggilnya saat aku sedang menatap kosong kearah kaca mobil.

"Maira?" panggilnya sekali lagi.

"eh, kenapa ka?" tanyaku saat tersadar dari lamunan

" Kamu baik baik aja kan?"

Aku hanya tersenyum tipis dan mengangguk. Tapi ka Rasyid semakin menatap lekat ke arah ku, sepertinya ada yang menarik perhatiannya.

"Pipi kamu kenapa Ra?"

Kenapa ka Rasyid harus melihatnya? Aku menatap cermin di depan. Ah iya, bedak ku sudah memudar, dan pipi biruku terlihat jelas. Aku harus menjawab apa.

"oh ini.. Nggak papa kok ka, cuman kejedot pintu kemaren, hehe" entahlah, itu adalah jawaban yang kurang logis merutku.

Ya, kebohongan demi kebohongan akan terus berlanjut setelah ini. Maafkan aku kak, aku hanya tidak ingin membuat kaka mengkhawatirkanku.





Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 27, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Senja dilangit PalestinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang