Hujan

119 9 0
                                    

     Hujan gerimis mengguyur kota. Rintikan air perlahan membasahi sebagian permukaan bumi, para pengendara motor mulai menepi, memasang jas hujan. Angin bertiup kencang, dingin menusuk hingga menembus tulang. Pepohonan ikut menari bersama angin, tak ketinggalan segerombol burung juga ikut menari dibawah rintikan air hujan.

"Ar rahman.."
"Allamal qur'an.. "
"khalaqal insan.."

Suara lantunan ayat suci Alqur'an sayup sayup terdengar dari sebuah kamar yang ada didalam rumah mewah dan besar itu

❤❤❤

    Sudah seharian aku tidak keluar dari kamar. Dua nampan berisi sarapan pagi dan makan siang yang tergeletak diatas meja itu sama sekali tidak menarik perhatianku. Meskipun bi Ratna sudah berkali kali memintaku untuk makan, aku menolaknya sopan. Berharap bi Ratna mengerti perasaanku saat ini.

"Maira..  Makan dulu nak"
untuk ketiga kalinya bi Ratna kembali kekamarku. Raut wajahnya harap cemas saat menatap mataku, mata yang tatapannya kosong, redup. Kehilangan sebuah cahaya.

Bi Ratna, satu satunya orang yang kini peduli dengan keadaanku, menyayangiku tulus, meski aku bukan siapa siapa baginya. Aku menyayanginya, menganggapnya seperti ibuku sendiri. Semenjak aku kehilangan kasih sayang ibu.

Aku meletakkan Alqur'an kesayanganku dan berjalan ke arah bi Ratna.
"Bi Ratna sudah makan? "

"belum nak, pekerjaan bibi belum seleasai"  jawabnya lembut. Aku menatapnya lekat lekat. Wajah itu.. Begitu teduh, aku jadi teringat ibu. Ibu yang dulu, aku teramat merindukannya.

"ayo kita makan bi"

"ki.. Kita nak? " ucapnya tak percaya.

"iya bi..  Temani maira makan"

"tapi nanti ibu mar..." belum selesai bi Ratna melanjutkan kata katanya, aku sudah lebih dulu memotongnya.

"ibu tidak akan peduli bi "
Aku tersenyum palsu , berjalan ke arah bi Ratna dan mengajaknya ke ruang makan.

Hujan deras dan hembusan angin yang lembut menemani kebersamaanku dengan bi Ratna siang itu. Bercerita, bercanda, dan tertawa bersama. Sederhana, Tapi membuatku sangat bahagia. Hanya saja aku sedang merindukan seseorang, ibu (yang dulu).

❤❤❤

   Hujan semakin deras. Aku kembali mengambil alqur'an kesayanganku. Membuka pembatas halamannya, surah Arrahman. Surah itu, sangat berarti bagiku. Awal pertama kali aku memulai hafalan alqur'an dan menyetorkannya pada ibu.

"Fabiayyi aalaa irabbikuma tukazziban.. "

Aku membacanya tenang, tenggelam pada makna yang teramat dalam. Ya benar,  "nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan? " hanya saha kita terlalu sering lupa untuk bersyukur.

"praakk.."
Suara benda pecah terdengar sangat keras. Suara itu membuatku refleks menghentikan bacaan Alqur'an. Aku tau apa yang sedang terjadi diluar. Semua itu hanya membuat hatiku semakin terluka. Aku berusaha tidak menghiraukannya. Berpura-pura tidak mendengar. Melantunkan ayat suci setenang mungkin, mencoba tenggelam lebih dalam pada maknanya. Namun, usahaku sia sia. Keributan diluar semakin menjadi jadi. Aku sudah tidak tahan. Terpaksa keluar. Dan melihat semuanya (lagi).

Dugaanku benar. Pemandangan itu, sudah beberapa bulan terakhir. Mereka selalu bertengkar. Entah apa penyebabnya. Yang jelas pertengkaran itu membuatku hancur. Sehancur-hancurnya.

Senja dilangit PalestinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang