- Bukan Sendu Lembayung

43 9 2
                                    

pulang dari acara wisuda. aku mengirimkan sebuah voice note kepada ardhan. "ardhan. jikalau kamu tidak keberatan, aku ingin menemuimu di kafe di surabaya bagian utara. dekat bukan dengan rumahmu?"

nama kafenya pernah disebut sama ardhan, jadi aku tau dimana. kafe bernuansa sederhana, bukan sederhana juga, sedikit modern namun sedikit. aku dengar kafe ini dulu dibuat bertujuan untuk membantu saudara-saudara di Jogja saat terjadi gempa bumi kala itu dan bencana yang lain.

lonceng berbunyi. laki-laki tinggi, matanya sipit, menyunggingkan senyumnya, dengan kaos warna abu abu yang aku dengar dari nendra bahwa itu pakaian yang sering dipakainya. ya, itu ardhan. sesungguhnya aku tidak suka dengan kaos itu, ardhan jadi terlihat seperti bapak bapak. tapi tidak masalah, daripada menggunakan baju santai, takut banyak yang melirik akan manisnya dia.

aku lupa, aku ini sedang bertemu kawan atau pujaan hati, sih?

"nunggu dari jam berapa, dib?" tanyanya lalu asal duduk. datang terlambat, santai, duduk sembarangan.

"oke, santai dib. mari tersenyum untuk menutupi kesalmu" hatiku bermonolog

"aku bertanya, bukan menyuruhmu untuk tersenyum." ucap ardhan. "hm? nggak lama kok" balasku lalu menggeleng-geleng memeberikan tamda baru saja melamun. "bohong. sebentar berapa lama?" ucapnya, skakmat.

seketika disini menjadi sedikit dingin, padahal ia datang seperti sedang bahagia. aku menyukai raut kebahagiaan darinya. "ah. ini mungkin karena aku tidak terlalu bahagia." monologku. apalagi responnya kemarin saat berusaha untuk menghindari ajakanku. sedikit menyakitkan

"lupakan. kamu mau ngomong apa?" lanjutnya. aku menarik nafas dalam, sejenak. rasanya belum yakin untuk membicarakan ini terlalu cepat kepadanya. "aku mau ke Jakarta besok. mau nggak mau, aku harus di baptis ke katedral. ntah kenapa nggak ke gereja pada umumnya." jelasku menundukkan muka

"jadi. kamu beneran pindah kepercayaa? itu tidak masalah di aku sih. terserah kamu" balasnya. seketika perubahan ada pada dirinya. wajahnya tak se-segar tadi, bibir nya tak berhenti bergerak seperti sedang menahan sesuatu yang ingin ia ungkapkan.

"adikku sudah sembuh. jadi ada kemungkinan besok aku sudah bisa berangkat ke Magelang." ucapnya, matanya berkaca-kaca.

ardhan, kau kenapa? aku jadi mulai sedikit cemas melihatmu. ayo cerita ada apa denganmu saat ini.

"ohh, alhamdulillah deh akhirnya sudah sembuh. besok jadwal penerbanganmu sudah tau jam berapa? omong-omong ardhan, ada apa denganmu. apa ada yang ingin kau katakan? atau ingin cerita? ungkapkan saja" ucapku mendekati mukanya. ia memberikan jarak dengan duduk tegak.

"ngak kok. nggak kenapa-kenapa, hehe. pagi sih seingatku, sekitar jam 8 mungkin." jelasnya

"kalau jam 8 sama dong. kamu naik pesawat turun ke jogja terus lanjut ke magelang naik kereta?" ucapku lalu di angguki olehnya.

"hei. ardhan! siapa ini?" tiba-tiba seseorang datang menghampiri kami.

apa?! odi?! 

buru-buru aku menggunakan maskerku. ah, kenapa harus datang kemari sih makhluk tuhan yang mirip dengan setan ini. ngawur!

odi melihat kearahku, aku sangat ketakutan, seperti di titik antara hidup dan mati. "siapa dia? kok kayaknya cantik. kenalin dong, dhan." ucapnya.

dengan tangannya yang usil, ia sengaja membuka maskerku. "nggak usah pake masker, tau gua kalo itu lo." ucapnya

"ya allah. ada saja skenario mu yang sempat menjadi rahasia antara dua insan yang tidak diketahui sedang berkencan di sebuah kafe dan menutup-nutupi nya. percayalah, habis ini dunia akan tau segalanya, dan membenci lo" ucapnya, mengintrogasikan kepadaku.

"kau itu manusia apa bukan sih? laki-laki atau perempuan? makhluk tuhan macam apa yang di takdirkan seperti manusia dan aki-laki pada umumnya. atau jangan-jangan kau bukan makhluk tuhan.." ucapku mulai lantang

ia langsung berlari dan keluar. huh, cemen sekali dia.

matahari pembawa rinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang