Prawira Dion Yasa

6.6K 347 3
                                    

"Ayah, ada Bunda, loooooooo."

Ekspresi wajah sang ayah, berubah datar tiba-tiba. Wajahnya sedikit memerah dengan rahang yang mengeras. Urat-urat di leher dan wajah muncul memberi warna di kulit putihnya.

"Di mana?" tanyanya dengan nada tegas.

"Itu." jawab Adam sembari menunjuk ke arah Shenna yang berdiri di belakang mereka dengan mata yang melotot.

Mendengar jawaban Adam, membuatnya kacau. Perasaan takut menghantui Shenna saat itu. Ia pun sedang mempersiapkan diri jika kemungkinan ia akan diusir dari rumah itu. Ditambah melihat tatapan tajam ayah dari Adam, membuatnya merinding. Dan tatapan laki-laki yang lebih tua darinya itu, membuatnya semakin yakin jika ia akan diusir saat itu juga.

Ayah dari Adam, Wira, menyipitkan mata, menandakan jika ia tengah menyelidiki gadis di depannya itu.

Shenna membeku di tempat. "Aku pasti diusir." batinnya kacau.

"Wir, ini pengasuh baru Adam. Namanya Shenna." kata Niken tiba-tiba muncul memperkenalkan. Namun, kedatangannya yang tiba-tiba itu membuat Shenna yang membeku itu terkejut. Jantungnya kembali berdegup kuat saat itu. Matanya kembali melebar karena terkejut. Niken yang melihat itu pun terkekeh geli.

Adam menghampiri Shenna dan memeluk kaki gadis yang baru ia temui itu. Shenna sedikit membungkuk, menggapai tangan Adam dan membawanya ke dalam genggaman.

"Mamah yakin? Mamah nggak belajar dari yang sebelumnya?" tanya Wira, meyakinkan mamahnya yang sudah beberapa kali tertipu oleh orang yang dibawanya. Dan bukannya Wira tidak suka kepada Shenna, hanya saja ia tidak ingin mamahnya kembali dikecewakan.

Shenna semakin menunduk mendengar perkataan Wira yang menunjukkan jika ia tidak menyukai kedatangan nya.

"Mamah tau, dan Mamah yakin sama pilihan Mamah."

"Kemaren Mamah juga bilang begitu."

"Tapi Shenna beda, Wira."

"Selalu."

"Wira...."

"Aku ke kamar. Kita bicarakan nanti kalau Papah pulang." Wira melangkah melewati Niken, Shenna dan Adam. Jantung Shenna memompa semakin cepat dan perasaan takut semakin menghantui nya. Ia memejamkan mata sembari membuang napas, berusaha menenangkan diri.

"Nggak apa," ucap Niken. "Wira memang rada judes anaknya. Tapi dia baik, kok. Dia hanya mau Mamahnya hati-hati karena sebelumnya Mamahnya ini selalu dikecewakan."

Shenna menghadap ke arah Niken.

"Nggak apa, Bu."

"Panggil 'tante'."

Shenna memberikan respons 'huh?' untuk permintaan Niken tersebut.

"Kamu panggil saya tante aja. Kalau ibu, kesannya saya itu tua banget. Jadi, panggil tante aja, ya?"

Shenna hendak berucap, mengeluarkan protesannya namun Niken lebih cepat menekankan. "Tante. Saya nggak menerima penolakan," Niken berucap tegas. "Karena penolakan itu nggak enak."

Shenna sudah akan mengeluarkan tawanya mendengar pernyataan Niken yang berhasil menggelitik perutnya. Namun ia tahan mengingat keadaannya kini masih belum aman.

"Santai aja. Nanti malam, sehabis isya, kita kumpul di sini. Biar om sama Wira kenalan dulu sama kamu."

Shenna mengangguk merespons. Niken lalu menuju dapur, sedangkan Shenna mengajak Adam merapikan mainannya yang berantakan di dekat tangga.

***

Malam ini langit gelap berhias bulan dan ribuan bintang. Angin berhembus pelan, hingga memasuki celah setiap rumah; menyapa pemilik rumah yang sedang sibuk dengan aktivitas mereka. Dan seperti kata Niken sore tadi, jika mereka akan berkumpul di ruang tamu. Di sinilah Shenna, Adam, Wira, Adrian dan Niken berada. Keadaan saat itu cukup menegangkan bagi seorang Shenna karena Adrian dan Wira terus memerhatikan nya. Bergerak sedikit pun, ia takut.

"Kamu tinggal di mana?" tanya Adrian.

"Rumah, Om."

Baik Adrian, Niken ataupun Wira sudah akan tertawa mendengar jawaban Shenna namun mereka tahan. "Maksudnya, rumah kamu di mana?"

"Jogja, Om."

"Jogja?" tanya Niken meyakinkan. Ia pikir Shenna tinggal di Jakarta.

Shenna mengangguk menjawab Niken.

"Kenapa kamu bisa di Jakarta? Apa kamu sengaja mencari kerja di Jakarta?"

Shenna mengangguk.

"Kenapa jauh-jauh?"

"Kemaren ikut mami ke Jakarta, terus Shenna bilang, Shenna mau cari kerja di Jakarta."

"Umur kamu berapa?" tanya Adrian.

"22."

"Masih kuliah?"

Shenna menggeleng.

"APA?!" Mendengar teriakan cukup keras dari Adrian, membuat Shenna dan Adam terkejut. Adam, matanya pun mulai berkaca-kaca. Shenna yang kebetulan menunduk, melihat Adam di pangkuannya pun menenangkan dengan mengusap punggungnya.

Hari ini, jantungnya sudah beberapa kali harus berdetak lebih kuat dari biasanya karena terus dibuat terkejut oleh bos-bosnya. Kalau sampai hal itu terus terjadi, bisa-bisa ia terkena serangan jantung tiba-tiba.

"Papah." tegur Niken.

"Maaf," sesalnya. "Saya tidak marah sama kamu, tapi saya hanya tidak suka jika ada anak yang tidak melanjutkan pendidikannya hanya karena mereka ingin bekerja."

"Shenna sudah wisuda, kok."

"Benar?"

Shenna mengangguk mantap.

"Alhamdulillah. Itu bagus," kata Adrian. "Lalu, apa kamu tidak masalah bekerja sebagai pengasuh? Padahal berpendidikan tinggi."

"Nggak masalah, sih. Yang penting kerja dulu. Soalnya cari kerja juga nggak mudah. Shenna aja sudah hampir seminggu cari kerja tapi nggak ketemu. Ada sih, tapi tawarannya kerja di tempat billiard."

"Bagus, kamu tolak. Jangan sampai kamu bekerja di tempat seperti itu, ya?"

"Iya, Om."

***

Di kamar, Wira berbaring di kasur. Menatap langit-langit kamar, memikirkan kejadian sore tadi yang sempat membuatnya jantungan.

"Aku kira benar bundanya," Wira bergumam dengan hati yang lega. "Ternyata bukan."

"Ayah?"

Wira segera membuka mata dan menoleh ke arah pintu. Adam berlari kecil menghampiri ayahnya. Menaiki kasur dibantu Wira yang sudah merubah posisinya menjadi duduk. Adam mendongak melihat wajah lelah sang ayah. Tangannya mengusap pipi Wira lembut; mengundang senyuman di wajah bulat sang ayah.

"Ayah, Adam senang."

"Kenapa?" tanyanya seraya mencium gemas wajah sang anak.

"Adam ketemu bunda," jawab Adam semringah. "Hi hi, Adam senang sekali, Yah. Nanti Adam, Ayah sama bunda jalan-jalan, ya?"

Wira terdiam mendengar pernyataan Adam. Hatinya teriris, pun kesal. Kemudian dia menarik Adam ke dalam pelukannya. Tatapannya kosong dan pikirannya melayang di mana masa lalu itu berada.

"Ayah?"

Tatapan polos Adam selalu membuat hatinya sakit. Entah sampai kapan ia harus berbohong pada anaknya itu. Wira yakin anaknya itu sangat merindukan kasih sayang bundanya, meski ia sudah menerima banyak kasih sayang dan cinta darinya dan orang tuanya namun kasih sayang seorang ibu yang melahirkan tentu berbeda.

"Sayang, tante Shenna bukan bunda Adam. Jangan panggil tante Shenna dengan sebutan 'bunda'."

Adam merengut kesal. "Bunda, bukan tante."

"Sayang...."

"Bunda, Ayaaaaaah." rengeknya kemudian. Wajahnya cemberut menandakan protesnya.

"Sayang, bunda Adam itu adalah wanita yang melahirkan Adam, dan itu bukan tante Shenna."

"Bundaaaaaaaaaa!" teriak Adam lalu menangis dalam pelukan longgar Wira.

Sungguh, Wira tidak pernah tega melihat air mata anaknya itu keluar namun ia juga tidak mungkin membiarkan Adam memanggil Shenna dengan sebutan 'bunda'. Ia khawatir akan membuat gadis itu tidak nyaman. Dan ia juga harus memikirkan bagaimana pandangan seluruh keluarganya.

"Sst...." Wira mengusap punggung Adam.

"Bundaaa." rengek Adam lagi.

Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam namun Wira masih belum bisa tidur. Pikirannya terus menuntunnya untuk memikirkan Adam dan Shenna. Ia merasa tidak enak hati pada Shenna jika itu terus berlanjut.

Wira berpikir keras cara yang baik untuk meyakinkan Adam. Kepalanya sakit karena banyaknya yang mengganggu pikirannya hari ini. Belum lagi besok ia ada meeting dengan klien yang begitu cerewet dan mempunyai keinginan yang begitu tinggi akan kesempurnaan akan proyek mereka.

Wira mengusap kasar wajah hingga memerah. Rasanya ia enggan ke kantor besok. Begitu malas ia bertemu dengan kliennya yang sombong itu. Namun itu pula kesempatan baginya menunjukkan pada mereka yang selalu meremehkan dirinya, hanya karena usianya yang begitu muda untuk seorang pemimpin. Bagi mereka, ia masih begitu labil untuk jadi seorang pemimpin.

Wira juga harus memikirkan papahnya. Wajah papahnya tergantung pada dirinya. Jika ia melakukan kesalahan, maka papahnya lah yang harus menanggung malu lebih banyak.

"Seandainya kak Naya itu cowok," keluhnya. "Pasti dia yang disuruh jadi penerus."


***

To be continued ....

ITS_KIIIMIIIF

BUNDA (END/Cerita Pindah Ke HINOVEL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang