Gerombolan rusuh kelompok Administrasi Umum yang beranggotakan Gita, Aruna, Sarah, Riki, Dimas, dan Hanif duduk melingkar di teras kelas. Bel pulang sekolah sudah berdering 10 menit yang lalu, sekarang mereka sedang merundingkan waktu yang tepat untuk mengerjakan tugas yang di berikan Bu Dewi.
"Kebetulan nenekku lagi nggak di rumah, lagi pulang kampung. Di sana halamannya luas, ada gazebonya juga, mau?" Dimas memberi saran. Yang lain tampak berpikir.
"Rumah nenekmu di mana?" Tanya Aruna sambil mengunyah cilok yang sempat ia beli ditemani Gita sebelum mereka berkumpul.
"Nggak jauhlah dari sekolah." Jawab Dimas. "Kalo ada yang keberatan soal transportasi, bisa ku jemput." Imbuhnya.
Mendengar tawaran tersebut, lantas Gita mendongak. Tangan kanannya teracung tinggi. "Jemput aku, Dim! Aku nggak yakin hari Sabtu Bang Rendy di rumah. Kak Dara sudah berangkat ke Pekanbaru lanjutin kuliah. Bang Panji ... aku juga nggak yakin. Ibuku ada pesanan ket--"
Belum sempat Gita menyelesaikan penjelasannya, seperti biasa, dengan tidak sopannya Riki memotong. "Ribet amat. Dimas nggak butuh penjelasan. Kalau butuh tumpangan, ya udah, bilang."
Panas, mendidih, darah tinggi Gita kumat. Matanya mendelik Riki, menyorot cowok itu penuh dendam. "Siapa sih, yang milih si kritikus ini masuk kelompok ini?! Nggak berguna dia di sini! Taunya komen, kritik, sok benar!" Sunggut Gita. Wajahnya merengut tak suka, emosi karena mulut ember bocor Riki bersuara.
Aruna, Dimas, dan Hanif menahan tawa. Seolah Gita mengomel itu tontonan seru bagi mereka. Padahal Gita tambah geram karena mereka tidak merespon pertanyaannya tadi.
"Dasar, setaners! Aku mau pulang! Pokoknya Dimas harus jemput aku!" Tanpa menunggu respon dari teman-temannya, Gita segera mengangkat kaki dari kerumunan manusia tidak ber-pe-ri-ke-ma-nu-si-a-an seperti mereka, begitu menurut Gita.
Cewek itu berjalan dengan kaki menghentak lantai sepanjang koridor menuju tangga. Untung area koridor kelas 11 tidak ada yang mejeng-mejeng di depan kelas lagi, jadi tudak ada yang memperhatikan tingkahnya yang sedang marah seperti ini. Mulutnya komat-kamit menyerapah pada Riki yang mulutnya sepedas cabe rawit Jawa.
Menuruni satu-persatu tangga menuju gerbang, tepat di tangga terakhir, kaki kiri Gita memijak sesuatu. Seperti batu, tapi rasanya menembus? Gita mengangkat kaki kirinya, mengecek tapak sepatunya. Paku berkarat menancap menembus hingga telapak kakinya. Berdenyut.
Gita menjerit tertahan. Melepas sepatu kirinya perlahan, paku yang menembus kakinya terlepas perlahan pula. Kaki kirinya sedikit terasa kebas. Dengan gerakan cepat Gita melepas kaos kaki putihnya karena melihat bercak darah yang semakin melebar. Ada luka berupa lubang yang mengeluarkan darah segar.
Panik, Gita segera memutar posisi tasnya ke depan untuk mencari tisu yang biasa dia bawa. Gita duduk di anak tangga terbawah, hendak menyapu tisu yang sudah di ambilnya pada lukanya agar menghentikan pendarahan. Belum sempat aksinya terlaksanakan, tangan besar menepis gerakannya. Refleks, Gita mendongak mencari tahu siapa yang mengganggunya dalam keadaan genting seperti ini. Matanya menangkap cowok bertopi hitam tengah menunduk dan menyiramkan lukanya dengan sebotol air mineral yang airnya tinggal seperempat botol. Dengan perlahan dan hati-hati, cowok itu menyiramkan air tersebut ke atas luka di kaki Gita yang masih mengeluarkan darah segar.
"Ceroboh, pecicilan. Makanya kalau jalan pake mata, paku sebesar jempol Dimas nggak kelihatan," Kata cowok itu sarkas. Gita kenal sekali cowok bermulut pedas sepedas cabe rawit Jawa ini!
Mendengus, Gita tak berani menjawab. Sudah merasa tertolong karena kedatangan Riki yang tepat saat ia memang membutuhkan pertolongan.
"Pegangin dulu tisunya, aku ambil Handsaplast di tas." Tanpa menunggu persetujuan Gita, Riki membongkar tasnya mencari keberadaan sebungkus plaster luka untuk menutupi luka Gita agar tidak infeksi.
Setelah merobek kemasan plester luka tersebut, Riki mengeringkan permukaan di sekitar luka dan menutup area luka itu dengan plaster luka tadi. Bahkan Gita tidak tahu, bagaimana bisa ada plaster dalam tas cowok petakilan model Riki ini.
Ada rasa lain yang asing. Namun Gita tidak tahu itu apa. Rasanya asing, tabu. Tiba-tiba Gita sadar. Riki menyentuhnya dan tidak ada reaksi mengerikan seperti yang biasa Gita alami. Tidak ada debar ekstrim yang akan menyebabkannya mual dan pusing jika melakukan skinship dengan orang lain. Dia sembuh? Semudah itu? Secepat itu?
Gita menyorot Riki penuh selidik. Cowok itu masih tertunduk, memeriksa, apakah ada luka lain di sekitar kaki Gita, atau terjadi pembengkakan.
"Maaf. Terima kasih." Kalimat yang mungkin jarang Gita ucapkan untuk makhluk jahil dan pengganggu seperti Riki ini.
Riki mengangguk sekaligus mendongakkan kepalanya. Manik keduaya bertubrukan, saling beradu pandang selama beberapa detik. Posisinya masih bertekuk lutut di depan Gita. Ada senyum tipis yang terukir di wajahnya, terlihat tulus dari biasanya. "Manusia yang sering kamu katain nggak berguna ini, yang nyelamatin luka kamu hari ini. Juga ... " Riki menggantungkan kalimatnya. "Fobia kamu." katanya dengan suara pelan. Riki menyadarinya?
Benar, kan? Gita sudah sembuh! Tapi apakah hanya karena dia terluka, fobianya sembuh? Atau? Gita tidak tahu mengapa bisa semudah ini. Padahal dia sudah coba berbagai cara bagaimana ia terlepas dari fobia mengerikan ini.
Sudut bibirnya perlahan tertarik ke atas. Kali ini senyum tanda terima kasih yang begitu tulus Gita berikan pada Riki. Dia tidak tahu, harus terima kasih seperti apa yang harus dia berikan untuk Riki.
"Terima kasih banyak. Aku nggak tau, terima kasih macam apa yang pantas buat kamu." Gita beranjak berdiri dengan sedikit kesulitan karena sekarang posisi berdirinya tidak seimbang. Bagaimana nanti dia berjalan?
"Iya. Pulang sana, abangmu nungguin." Riki ikut berdiri. Tangan besarnya menyentuh puncak kepala Gita, menepuknya sekali, menyapu kunciran rambut Gita yang sedikit berantakan.
Gita sedikit merinding. Untuk pertama kalinya, orang lain selain keluarganya menyentuh kepalanya. Untuk pertama kalinya, dia tidak merasakan debaran jantung ekstrim. Untuk pertama kalinya, Gita merasa tenang.
Takut ada reaksi berlebihan lainnya, Gita berjalan tertatih meninggalkan Riki yang mengulas senyumnya lebih lebar. Tanpa Gita sadari untuk kesekian kalinya.
Punggung yang menggendong ransel berwarna abu-abu itu semakin mengecil termakan jarak. "Kalau suka, tinggal bilang. Jangan ngulur waktu, dasar pecundang!" Suara serak sahabat sialannya terdengar memekakkan di telinga Riki. Tidak merasa tersinggung mendengar kata pecundang yang di lontarkan padanya.
"Kasian Farah. Ya kali baru pacaran hari ini, besok ku putusin buat nembak Gita?" Itu sebuah pernyataan, bukan pertanyaan.
"Idiot!" Puas berteriak tepat di telinga Riki, Hanif berlari meninggalkan sahabatnya sebelum meradang karena sekarang telinga Riki terasa berdengung.
Tbc
A/n
Ada yang kangen? Hitung deh udah berapa lama aku nggak update? Ada yang udah ngapus cerita ini dari librarynya? Jangan dooonggg
Jadiiiiii aku update karena emang udah waktunya😂😂😂
Tapi serius nih, aku udah nulis 15 chapter tinggal di rapiin trus tinggal publish.1000 word cukuplah ya menebus kerinduan kalian? Makasih banget buat yang baik hati ngeluangin waktu buat baca, apalagi vote. Yang komen behhhh luar biasa di sayang sama aku😚😂😂
Udahlah itu ajaYudadababayyyyy

KAMU SEDANG MEMBACA
Kincir Angin [On Going]
Ficção AdolescenteKincir angin itu sama seperti roda. Posisinya nggak selalu di atas, nggak juga selalu di bawah. Kalo baling-balingnya ditiup angin, yang di bawah pasti berpindah jadi ke atas, begitu juga yang di atas. Tapi, tunggu waktunya tiba. Jadi, kamu nggak us...