1- Ayah

106 11 0
                                    

Sesak itulah asupan giziku setiap melihat ayahku terluka
-Singkat-

Singkat sudah bangun sejak subuh tadi. Ia merasa badanya pegal pegal karena acara MOS kemarin yang sangat melelahkan.

Jarum jam sudah menunjukan pukul 06.15 pagi. Tapi, dia masih sibuk dengan sundukan dan daging ayamnya.

Setelah semua sudah siap dan hari juga semakin siang. Ia beranjak dari dapur mengambil tas sekolahnya dan memakai sepatunya.

Namun ketika akan berpamitan dengan Ayahnya. Singkat melihat ayahnya yang masih berbaring di atas tempat tidur.

Tidak biasanya ayah jam segini belum bangun, heran Singkat dalam hati.

Akhirnya dengan langkah berani, ia masuk kedalam kamar ayahya. Kemudian menghampirinya. Namun, ia kaget melihat ayahnya yang menggigil kedinginan. Lantas ia meletakkan punggung tangannya di atas kening ayahnya. Ia merasakan kening ayahnya yang terasa hangat maksudnya panas.

Ayah Demam.

Itulah yang ada difikiran Singkat. Ayahnya yang masih memejamkan matanya itu, tidak menyadari jika sedari tadi putrinya berada disampingnya.

Kemudian singkat melangkahkan kakinya menuju dapur mengambil kain handuk mini, baskom, dan es batu.

Dilihatnya jam sudah menunjukan pukul 06.45. Jadi lima belas menit lagi dia akan telat.

Singkat menghiraukan hal itu. Yang terpenting kali ini adalah Ayahnya. Ia mengompres kening ayahnya dengan hati hati diikuti ciuman dikening ayahnya.

Ini memang menjadi kebiasaan Singkat ketika ayahnya sakit. Karena menurutnya ciuman seorang anak adalah penawar terbaik untuk orang tuannya. Ya pada kodratnya jika tidak disertai cinta kasih nan tulus serta pembuktian itu sama aja. Mau dicium sampai merah merah juga akan tetap sama. Dan ciuman hanya sebagai perantara penyalur semangat. Pikir Singkat seperti itulah.

Mungkin itu pemikiran yang so queer. Benar benar aneh.

"Lho kamu enggak sekolah?," ayah Singkat tiba-tiba bangun dan langsung menanyai putrinya.

"Tidak ayah," balasnya.

"Ini hari pertamamu sekolah, ayah tidak apa apa,"

Singkat menggeleng pelan "Ayah sakit mana mungkin Singkat pergi ke sekolah meninggalkan ayah dalam keadaan begini,"

"Maaf ayah selalu merepotkanmu,"

"Shuttt, ini sudah kewajiban Singkat,"

Singkat berjalan menuju dapur, mengambil sepiring bubur yang baru saja ia buat. Ia menyuapi ayahnya dengan sangat telaten. Dan meracik obat untuk ayahnya.

"Yah, Singkat ke dapur dulu. Nanti kalau butuh apa apa, panggil singkat ya," pamitnya langsung berlalu dari hadapan ayahnya.

Di dapur, Singkat menangis dalam diam. Ia tidak tega melihat ayahnya seperti ini. Meskipun hampir setiap saat melihat ayahnya sakit sudah menjadi asupan sesak untuk Singkat. Asupan yang terlalu berlebihan sehingga membuat dadanya sesak. Asupan yang mengenyangkan kesedihanya. Tuhan, Singkat sudah kenyang dengan cobaanmu ini.

Dalam keadaan seperti ini, Singkat membutuhkan dukungan dari orang terdekat. Ayah, ayah, dan ayah selalu itu. Bukanya tidak bersyukur, ia hanya merindukan dukungan dari Ibu. Ia pun selalu merasa kasihan dengan Ayahnya yang pandai menutupi luka demi tertawa di depannya.

Ayah itu munafik. Dan Singkat benci itu. Dia benci dengan dirinya. Dirinya dengan bodohnya menerima senyum palsu dari ayahnya, senyum untuk menutupi sedih. bahkan luka sedangkalpun tidak ia ketahui.

SINGKATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang