Masa Itu

125 18 20
                                    

Bandung, 2018.

Perempuan itu duduk disalah satu kursi kosong di pinggir taman sambil mengunyah cilok yang baru saja ia beli ketika tiba disini. Sembari menikmati cemilan sorenya, sesekali bibir mungilnya tersenyum melihat riangnya anak kecil yang sedang berlari kesana-kemari tanpa beban. Dalam lubuk hatinya, ingin sekali ia menjadi anak kecil lagi yang tak perlu pusing memikirkan masa dewasa yang amat sangat merumitkan.

Tapi, bagaimanapun juga ia harus tetap menjalani hidupnya. Tinggal seorang diri di kota Bandung yang bukan tanah kelahirannya, memacu dirinya untuk selalu kuat dan mandiri dalam menghadapi segala hal yang terjadi. Inilah jalan yang telah ia pilih, mau tak mau ia harus mengikuti kemanapun alurnya pergi. Meskipun kadang ia juga pernah melawan arus untuk mencari jalan yang lain.

Disela lamunannya, tiba-tiba ia tersentak karena mendengar suara tangis yang kuat dari arah kanannya. Dilihatnya seorang gadis kecil sudah terduduk di atas tanah sambil memegangi lututnya yang mulai mengeluarkan darah. Sejurus kemudian ia langsung bangkit dari tempat duduknya dan menolong gadis kecil yang sedang kesakitan itu.

"Duh. Jangan nangis ya, Dek. Nanti darahnya makin banyak.." ucapnya sambil membantu gadis kecil itu berdiri.

Alih-alih ingin menghentikan tangis si gadis kecil itu, ia malah semakin membuat tangisnya mengencang.

"Yah. Makin nangis. Gimana nih?" tanyanya kebingungan sendiri, "cup..cup..cup.. Jangan nangis lagi ya. Nanti Kakak ajak nonton drakor terbaru deh. Ya?" lanjutnya. Sungguh ia sangat tidak mengerti bagaimana cara membuat anak kecil berhenti menangis. Sebenarnya ia tidak suka mendengar suara tangis anak kecil yang melengking, tapi apa boleh buat, ia terlanjur berada di dekat kejatuhan si gadis kecil ini, malah sekarang semua pasang mata yang ada di taman memandangnya dengan tatapan mengintimidasi.

Si gadis kecil masih tetap menangis meraung-raung. "Huaaaaaa.. Omanes.. Omanes..! " teriaknya dengan suara celat khas anak kecil.

"Apaan sih Dek? Mayonais?" tanyanya pada gadis kecil itu, "atau Jones?" tanyanya lagi, "lah masak aku dikatain Jones sih?".

Si gadis kecil menggeleng pelan dan masih terus meneteskan airmata. Dan kini suaranya tangisnya semakin menggema hingga ke inti bumi.

Luar biasa!

Ia menggaruk kepalanya yang ditutupi hijab berwarna cokelat susu. Sekarang ia benar-benar kebingungan. Ditambah lagi orang tua si gadis kecil ini tak kunjung menyelamatkannya dari gadis kecil mereka yang miliki suara ajaib ini.

"Dek. Kakak gak jahat kok. Diem yaa? Ntar Kakak dikira nyulik adek loh."

Tiba-tiba tampak sebuah bayang diatas tanah tempat perempuan itu jongkong bersama si gadis kecil.

"Disini rupanya.." ucap seseorang itu dengan suara berat.

"Omanes.. Omanes.. Huaaaaa!" teriak si gadis kecil itu histeris dan langsung memeluk lutut seseorang itu.

"Alhamdulillah.. Akhirnya aku terbebas.." lega perempuan itu sambil berdiri membalikkan tubuhnya.

Sedetik setelah itu, waktu seakan berhenti melangkah maju. Eloknya mulai berjalan mundur ke masa itu.

Dua detik setelah itu, dunia seolah mendadak sempit karena adanya sebuah temu. Agaknya sulit untuk bersembunyi lagi pada masa itu.

Tiga detik setelah itu, memori yang telah lama dikubur rapat-rapat seakan mulai berterbangan menjadi puing-puing rindu yang siap menjamu setiap indera di seluruh tubuh.

Kembali ke masa itu.

"Embun?"

Perempuan yang dipanggil namanya itu mendadak diam membisu. Lidahnya tiba-tiba terasa kelu membeku. Dan sendi-sendi disetiap tubuhnya pun mendadak lumpuh.

EMBUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang