7

29 4 0
                                    

"Maaf." Hanya itu yang bisa aku ucapkan, saat dia menyatakan cintanya padaku.

Bukan, bukan karena aku tidak mencintainya.

Aku mencintainya, sangat. Tapi aku tidak bisa menerima perasaanya.

Karena, ada yang lebih baik untuknya. Bukan aku. Bukan aku yang telah memiliki seorang putri.

Sejak aku menolaknya, tidak ada yang berubah padanya.

Dia tetap menyanyangi putriku. Dan bahkan putriku juga menyukainya. Mereka bahkan sangat dekat.

"Noona, aku akn membawa Yena jalan-jalan." Katanya.

"Baiklah, hati-hati ya."

--

Aku seorang perempuan dengan seorang putri, yang telah ditinggalkan suamiku.

Ya, dia meninggalkan kami dan memilih bersama dengan wanita lain.

Tidak ada penyesalakan dalam diriku. Karena, sejak menikah, dia sering memukulku. Bahkan menyiksaku.

Setelah menyiksaku hingga aku hampir kehilangan bayiku, aku memutuskan untuk menceraikannya. Karena aku tidak memiliki siapapun yang bisa melindungiku selain diriku sendiri.

Tepat sebelum aku melayangkan gugatan ceraiku, ternyata dia sudah melakukannya terlebih dahulu, karena dia telah menghamili orang lain.

Dengan ikhlas aku relakan dia pergi. Aku tidak ingin terpuruk terlalu dalam.

Setelah resmi bercerai, aku memutuskan untuk membuka sebuah coffee shop kecil di sebrang jalan rumahku, dengan sisa tabunganku.

Dan, disinilah aku bertemu dengannya. Orang yang menyatakan cintanya padaku.

Dia yang ramah, bersahabat, datang ke coffee shop dengan senyum merekah.

Selalu membuat kami tertawa dengan tingkah konyolnya.

Selalu tertawa bahkan hanya hal kecil sekalipun.

Pelan-pelan, dia menunjukkan perhatiannya padaku.

Dan, pelan-pelan juga aku mulai jatuh hati padanya.

Hanya ada kenyamanan saat aku bersamanya.

Tidak ada perasaan takut saat melihatnya.

Umurnya terpaut cukup jauh denganku, 6 tahun. Tidak, bukan karena masalah umur.

Aku ingin dia bersanding dengan perempuan yang lebih pantas dengannya.

Bukan dengan janda sepertiku.

Sejak aku menolaknya, dia tidak pernah berubah. Masih dia yang dulu.

Tapi, beberapa hari itu, dia mulai berubah.

Biasanya dia datang hanya di akhir minggu. Tapi, sekarang, dia datang setiap hari.

Entah hanya untuk memesan kopi, atau bahkan hanya duduk dan melamun.

"Ada apa?" Aku bertanya padanya yang sedang melamun.

"Ah, noona. Tidak ada apa-apa. Aku hanya sedang ingin menikmati dunia ini." Katanya dengan senyumnya yang sangat indah.

"Apakah selama ini kamu tidak menikmatinya?" Tanyaku.

"Sudah. Hanya saja aku ingin lebih lagi menikmatinya." Katanya melihat keluar jendela.

"Kalau begitu, nikmatilah." Aku tersenyum dan meninggalkannya, membiarkan dia menikmati harinya.

Dan, itulah terakhir kali aku melihatnya. Dia tidak pernah lagi mengunjungiku.

S T O R YWhere stories live. Discover now