8

27 2 0
                                    

Kuakui, cintaku ada karirku, membutakanku.

Penawaran untuk menjadi kepala cabang di luar negri, menjadi saksi berakhirnya hubungan kasih kami.

Kami merupakan pasangan kekasih yang cukup ideal di mata orang lain.

Aku cukup sukses dengan karirku, dan dia juga sukses dengan bisnisnya yang dia mulai dari nol.

Kisah kami berawal dari saat kami kuliah. Dua belas tahun lalu. Saat kami masih berumur 20 tahun.

Muda, bergairah, keinginan untuk sukses menjadi pemersatu kami.

Awalnya, hubungan kami yang masih belia, tentu berjalan lancar.

Jarang ada pertengkaran. Kami selalu menyelesaikan segala perbedaan pendapat dengan kepala dingin.

Tidak ada saling cuek, atau saling menyalahkan.

Kami selalu mengakui jika memang kami melakukan kesalahan.

Hubungan dewasa.

Bukan hubungan dewasa seperti 'biasa' yang kalian pikirkan.

Hubungan dewasa kami adalah, berprilaku dewasa. Berfikir dewasa.

Menyelesaikan masalah secara dewasa. Bukan seperti anak pacaran lainnya yang suka ngambek.

Itulah yang membuat hubungan kami langgeng, hingga lima tahun lamanya.

Hingga, kami benar-benar mencapai puncak 'dewasa' kami, yaitu dunia kerja.

Tahun pertama kami bekerja, tidak, hanya aku, karena dia memutuskan untuk merintis usaha sendiri, cukup berhasil.

Namun pada tahun kedua, aku mulai disibukkan dengan pekerjaanku, sehingga sedikit melupakan jika aku juga memiliki seseorang yang butuh hiburan.

Seringnya rapat hingga malam, beberapa kali membuat dia sedikit marah.

Karena, karena rapat itulah, aku juga beberapa kali melupakan janji makan malam kami.

Aku sangat mencintai pekerjaanku. Sungguh. Jika saat itu aku bisa memilih, aku akan tetap memilih pekerjaanku.

Workaholic. Mungkin itu sebutan yang tepat untukku.

Tahun kedelapan hubungan kami, semuanya sudah terasa berbeda. Aku mulai melupakan, jika aku memiliki pacar.

Saat itu, beberapa kali dia bertanya tentang pernikahan, dan beberapa kali itu juga, aku mengalihkan pembicaraan kami.

Aku saat itu benar-benat tidak siap jika harus menikah di umur 28 tahun. Apalagi dia memintaku untuk berhenti bekerja jika kami menikah nanti. Tentu aju keberatan dengan itu.

Bagiku, 28 masih sangat muda untuk meniti karirku.

"Tapi 28 bagiku sudah cukup." Itu kalimatnya yang kesekian kalinya membuatku berfikir, jika kami memang berbeda.

Tepat setelah itu, aku mendapat tawaran untuk menjadi kepala cabang, namun tidak disini. Melainkan di luar negri, selama tiga tahun.

Tentu aku langsung menyetujuinya. Tanpa membicarakannya terlebih dahulu dengannya.

Disinilah, akhirnya, hubungan kami berakhir.

Marah. Dia marah. Aku mengambil keputusan itu tanpa diskusi dengannya.

"Jelas sudah. Kamu memang memilih pekerjaanmu daripada aku."

Dia pergi. Entah kenapa, aku sedikit menyesalinya.

Kenapa dia tidak bisa mengerti jika aku ingin menggapai mimpiku? Hanya tiga tahun, dan aku akan kembali.

Namun ternyata, dia tidak bisa menunggu. Aku, sedih.

Awalnya terasa sedikit asing bagiku, bukan karena bahasa, namun lebih kepada cara kerja mereka.

Banyak yang tinggal hingga malam di kantor, namun lebih banyak yang meninggalkan daerah kantor untuk pulang ke rumah dan bertemu dengan keluarganya.

Tiga tahun aku belajar, bahwa, kehidupan kerja dan kehidupan pribadi, juga harus seimbang.

Disinilah aku pertama kalinya merasakan penyesalan yang mendalam atas apa yang telah aku lakukan.

Namun, semua hanya tinggal kenangan.

Saat ini, aku melihatnya, duduk disana, bersama seorang wanita, dan tersenyum dengan indahnya.

Trenyuh. Namun, jika memang dia bahagia, maka aku juga harus bahagia.

Dia melihatku, melambai padaku. Aku berjalan mendekatinya.

"Hai, Daniel." Sapaku sambil menjabat tangannya.

"Hai, Chaerin, long time no see." Dia juga menjabat tanganku.

"Kenalkan, Kim Sejeong, yang akan bekerja sama denganmu nanti." Dia mengenalkanku padanya.

"Hai, Kim Sejeong." Dia menjabat tanganku.

"Lee Chaerin." Aku tersenyum dengan lembut.

Awalnya, kami hanya membicarakan rancangan kerja kami.

Diakhir pembicaraan, Daniel mengeluarkan sebuah undangan.

"Datanglah, pernikahanku dengan Sejeong."

Aku menatap undangan itu dengan berat hati, masih sedikit berharap namaku yang tertulis pada undangan itu.

"Wuah, selamat, aku pasti datang!" Sebisa mungkin aku tidak menunjukkan kesedihanku.

"Terima kasih." Daniel berkata lembut.

Aku menatap mereka yang saling bertatap dengan lembut. Betapa mereka saling mencintai.

Ya, semua ini terjadi memang karena keserakahanku akan karir.

Tidak bisa menyalahkan siapapun selain diriku sendiri.

"Baiklah, aku tidak ingin mengganggu calon pengantin. Aku pergi dulu ya." Aku tersenyum dengan seindah mungkin.

"Ah, maaf, kami tidak bermaksud." Kata Sejeong.

"Haha, aku mengerti, baiklah. Selamat menikmati hari cerah ini."

Aku berbalik dengan senyum menghiasi wajahku.

Aku meninggalkan Daniel tanpa ada penyesalan, jika memang ini adalah akhirnya, maka aku juga tidak boleh menyesalinya.

Karena dari awal, semua ini terjadi karena diriku.

Karir membutakanku, dari orang yang mencintaiku.

Semua ini terjadi karena pilihanku.

Aku tidak memilihnya. Jika ada akhirnya dia juga tidak memilihku, maka, aku akan menerimanya.

Aku akan memasang senyum paling indah, menyambut hariku yang akan datang.

Menyambut orang yang akan memilihku nantinya.

S T O R YWhere stories live. Discover now