Sinopsis

199 6 0
                                    

          “no mom!! Kau mencabut hak ku sebagai manusia yang berhak menolak ataupun …”

            “kau harus menerimanya Justin! Atau kau ingin membuat mama mu yang tua renta ini meninggal tanpa menggendong cucu dari anak satu-satunya yang sehari-hari hanya terus kuliah-bekerja, kuliah dan bekerja?”

             Justin Bieber baru saja berusia 20 tahun bulan kemarin. Ia masih berstatus sebagai mahasiswa di bidang seni di Stamford University, dan juga mengurus perusahaan keluarganya jika sore hari. Ibunya yang berkata bahwa ia adalah sosok tua renta, sebenarnya tidak terlalu tua. Usianya baru saja menginjak 37 tahun. Tak bisa disebut tua renta bukan?. Justin bukan sosok laki-laki kebanyakan. Ia tampan, ia bergelimang harta keluarganya, tapi ia bukan laki-laki yang akan bergaul dengan perempuan yang bukan temannya. Bahkan ia tak pernah diketahui memiliki pacar sejak usianya menginjak usia pacaran.

             Justin memutar bola matanya ketika ibunya mengatakan hal yang telah ia sering dengar. Merebut roti dari meja makannya. Tanpa pamit pada ibu, kakek, juga neneknya yang juga ada disana. Ia pergi menuju kampusnya. Mencoba menyibukkan dirinya dengan tugas kampus yang semakin menumpuk.

             “hei buddy … apa yang terjadi?” Derek sahabatnya mendudukkan bokongnya di sebelah Justin yang sedang membaca buku, tanpa sadar bukunya terbalik.

             “nothing” Justin menjawab acuh.

             “nothing? Oh .. kau punya hobi baru sekarang, membaca buku yang terbalik. That’s good or .. freak?” Derek menatapnya tak percaya.

             Justin tertawa konyol mendengar Derek menyebutnya ‘freak’. Ia frustasi dengan keadaan dirumahnya yang semakin membuatnya hampir gila. Ibunya tiba-tiba memaksanya untuk segera menikah. Justin berfikir itu gila untuk sosok ‘kaku’ sepertinya. Ia masih ingin berkarya dengan lukisan-lukisannya, serta lagu-lagunya, dan ia masih betah untuk bekerja tanpa beban memikirkan hasil pekerjaan itu untuk siapa.

 ***

             Gadis berambut kecoklatan itu baru saja menongolkan wajahnya di depan pintu kelasnya saat dosen sedang menjelaskan, dan saat jam menunjukkan pukul 11 siang. Ia berjalan, berjinjit dibalik punggung sang pengajar. Mencoba tak terlihat dan pada akhirnya PUG! Lemparan bollpoint pun tak bisa terelakkan.

             “Miley Roxanne, you’re late again” sang dosen menegur dengan suara amat sopan, meski memiliki kesan mendalam.

             “maaf sir, semalam saya tidur terlambat karena harus menyelesaikan tugas yang anda berikan kemarin, maka karena itu pagi ini saya bangun terlambat dan akhirnya…”

             “mana tugas itu sekarang?” Mr. Smith mempertanyakan tugas yang menjadi alasan keterlambatan Miley.

             Ia mencari tugas yang dimaksud didalam tas yang ia selempangkan disamping tubuhnya. Keningnya mengerut. Ia hanya berpura-pura bahwa ia tidur terlambat karena tugas. Semua karena ayahnya. Ia tertidur dengan tangisan yang terus tertahan, hingga akhirnya tak sadar ia terbangun saat jam mulai menunjukkan pukul 10 pagi. Miley menyerah. Mr.Smith mempersilahkannya keluar dan membanting pintu dibelakang punggung Miley.

            Miley Roxanne, ia berusia 20 tahun di hari yang cerah ini. Ya hari ini ia berulang tahun, dan menurutnya itu hal terburuk yang pernah terjadi. ia hidup dalam keluarga yang sama sekali tak bisa dikatakan berkecukupan. Miley bukan anak orang kaya seperti teman-temannya, Miley hanya anak dari seorang pekerja pipa, serta ibu rumah tangga biasa. Tapi ia tak pernah malu akan hal itu. Menurutnya apapun yang terjadi di dunia, itu sudah di atur. Sekalipun hari ini ia berada di bawah, suatu saat pangeran berkuda putih akan datang menjemputnya menjadi gadis kaya raya yang tidak akan pernah sombong. Miley memiliki adik bernama Demetria Roxanne, yang biasa dipanggil Demi. Masih sangat muda, berusia 19tahun.

            Ia pulang dengan langkah yang tertatih. Rambut kecoklatannya diikat penuh, memperlihatkan lekukan wajah yang manis dan cantik. Rumahnya dipenuhi warga sekitar rumahnya. Ia mencoba meminggirkan para tetangga yang diam-diam mengintip ke dalam rumahnya. Apa yang sedang terjadi? Miley bergumam.

            “aku beri waktu 1 minggu lagi, jika dalam kurun waktu 1minggu kau tak membayar semuanya, segera gali kuburmu sendiri”

            Seorang pria bertubuh besar keluar dari rumahnya. Miley masuk menatap rumah yang seakan layaknya kapal pecah. Barang-barang berserakan dimana-mana, ayahnya mencoba menenangkan sang ibu.

            “ada apa dad? Mom?” Miley menunduk sambil mencoba menggali informasi.

            “kau lihat! Fikirkan permintaan daddy dan mommy semalam nak, mereka akan membunuh kami jika kau tak ingin segera menikah dengan pria itu”

            Kedua orang tua Miley telah menjodohkan anaknya dengan pria yang difikirnya pantas untuk anak sulungnya itu. Anak dari pimpinan Alan, ayah Miley dikantor. Miley memutar bola matanya, kembali mengingat masalah yang membuatnya harus terlambat pagi tadi.

            “tidak. Daddy, aku punya cinta! Aku berhak memilih dengan siapa aku menikah, siapapun dia dad!” Miley membentak ayahnya.

            “jadi kau lebih memilih kehilangan kedua orang tuamu daripada kehilangan kekasihmu yang tak jelas itu?!”

            “Nick jelas! Dia akan segera menjemputku!”

            Miley berlari sambil menahan tangisnya di kamar. Nicholas Barnes, kekasih Miley sejak ia duduk di bangku sekolah menengah atas. Tampan, dengan tinggi yang sangat pas untuk menyamai tinggi badan Miley. Ia sedang bertugas menjadi seorang tentara USA di Palestina. Miley yakin Nick akan memenuhi janjinya untuk menjemputnya juga keluarganya nanti. Tapi sejak mereka berpisah usai hari terakhir ujian, Nick tak lagi pernah menghubungi Miley.

            “kau lihat dulu siapa pria itu, dan jika kau suka, kita bisa lanjut, jika tidak kami pasrah apa yang akan dilakukan mereka pada keluarga kita”

            Ayah Miley mengantar ibunya ke kamar. Miley kembali berfikir. Mencoba berperang dengan rasa sayangnya pada kedua orang tuanya. Juga kerinduannya pada sosok Nicholas. Ia menarik nafasnya panjang, mencoba kembali mencerna ucapan ayahnya, dan mengambil keputusan. Ia yakin keputusan seperti apapun yang akan diambilnya tak mungkin merubah keadaan, intinya ia mencintai Nick dan berharap pria itu datang segera untuk melamarnya.

Hurts But Its LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang