Bagian 1
- See the Unseen -
"Bisakah kau berhenti mengikutiku?" Jebol sudah benteng kesabaran yang kerap ia sebut ketidakpedulian itu. Pupilnya berdilatasi sebagai reaksi atas tumbukan di punggungnya yang cukup keras. Keberhentiannya yang tiba - tiba jelas tak diduga.
Freya, dengan muka kaku atas kover rasa takut meninggalkan posisi di belakang tubuhnya. Keraguan meliputi gerak kaki perempuan itu. "Aku... hanya mengkhawatirkanmu. Tidakkah lebih baik kau pindah ke kota lain dan bersekolah di sana?"
Suara embus napas yang dihempas keras merambati udara. "Oke, aku mengapresiasi kecemasanmu. Terima kasih." Keduanya bertemu pandang. Kekhawatiran dibalas tatapan skeptis yang agak kejam. Gadis yang lebih tinggi namun lebih muda itu menepuk bahu Freya. Sebuah tepukan yang dapat diartikan ketenangan dengan porsi yang pas.
"I'll be fine, cousin. Enggak perlu cemas." Diraihnya tas selempang yang seakan tak menampung apa - apa itu di atas meja. Berlanjut dengan menandaskan setengah gelas besar milkshake coklat, ia mengamati Freya. "Lagipula ibuku tak mengijinkanku keluar dari tempat ini. Ayah sibuk dan mengamanahkan keselamatanku pada ibu. Selain menurut, pikirmu apalagi yang bisa kulakukan?"
Tak ditanggapi, gadis itu justru tersenyum miring, "Walau cuma kau yang tahu sebesar apa keinginanku untuk bebas."°•°•°•
Mungkin terdengar jahat. Tapi ia langsung mengerti hawa khas apa yang kental di antara penduduk kelas. Kelas rapi, tembok mulus, papan bertuliskan harapan serta daftar tugas lengkap dengan keterangan jatuh temponya. Tak luput juga dari matanya, penampilan rapi yang membungkus ambisi dalam kepala - kepala jiwa muda itu.
Tolol. Satu - satunya kata yang terlintas dalam otak begitu selesai memproses impuls dari indra penglihatan. Bahkan beberapa di antara mereka mengenakan dasi dan jas, persis seperti murid sekolah dasar yang payah.
"Canixha Latrans. Asal Kirkby." Mata gadis ini berpendar. Upayanya mengobservasi kilat seluruh teman satu kelas nyaris saja tercapai. Pemuda pirang berkulit tan kurang mampu menahan rasa ingin tahu. Isi otaknya bocor melewati bibir, "Apakah kau tidak salah tempat, Nona? Bisakah kau tahan dengan tempat tropis seperti ini?"
Woah. Beruntungnya Nix lihai menyembunyikan setiap perubahan ekspresi. Senyumnya natural, misterius namun masih bersahabat dengan mimik meremehkan pemuda kekar yang secara intens menatapnya dari tempat ia berdiri. "Penduduk Kirkby satu - satunya yang kebal atas wabah dan perubahan cuaca ekstrem empat dekade terakhir, Blondie."
"Bukan blondie, panggil aku Clant. Kirsch Clanton. Ketua kelas yang kemampuannya tak usah diragukan lagi." Tingginya berkisar satu meter delapan puluh lima--barangkali tujuh. Bentuk tubuhnya mengagumkan, terlebih Nix tahu betul pemuda itu terus memertahankan postur tegap bak model itu. Lelaki itu pasti melibatkan kegiatan yang mengolah raganya tiap hari.
"Kirsch nama depanmu?" tanya Nix di sela langkahnya menuju bangku kosong. Dua baris dari depan, terletak di deretan paling kiri. Alih - alih menanggapi Clanton yang kembali berujar, ia sibuk mengamati hal - hal yang tengah terjadi di luar kelas. Jendela besar itu menguntungkannya, membuka lebar upaya pelenyapan rasa bosan sewaktu materi akademis mulai merasuki telinga dan menyesaki papan tulis di depan kelas.
"Kau mendengarku, Latrans?"
"Ya," sahut Nix asal. Rasanya kurang elit saja mengkoneksikan sel-sel neuronnya cuma untuk jenis pria seperti itu. Jauh lebih baik kalau ia melamun sampai kantuk menyergap kesadarannya habis.
Kelas berisikan dua puluh lima kepala. Satu ketua yang didampingi dua sekretaris. Nix, cuma memerhatikan tanpa minat ketika satu per satu manusia di kubus beton yang sama dengannya itu melimpahinya perhatian. Menyebut nama masing - masing, dan menceritakan sekilas tentang dirinya. Jari-jari Nix terlalu gatal ingin mengambil ponselnya. Lalu menyodorkan benda tipis miliknya di tengah untuk merekam seluruh isi kalimat yang keluar itu agar tak perlu merepotkan kerja memori otak Nix.
KAMU SEDANG MEMBACA
Elclestine
HorreurElclestine. Kaya sumber daya alam, kaya pula akan rumah tanpa penghuni. Ramah pada yang kuat, menyambut pula pada yang kurang berdaya. Tempat ini bersih, presensinya ialah guna membersihkan.