BAB I

72 2 1
                                    

Bagian 2.B

- See the Unseen -

   Clanton datang di tengah tengah ketegangan. Tepat atau tidaknya tindakan lelaki itu, Nix belum mampu menilai. Dirinya masih dirundung tanya ketika berusaha mengingat peristiwa aneh pada awal ceritanya sebagai murid Querquentine. Sekolah satu - satunya memang terdengar mencurigakan sekaligus aneh di pulau seluas dan semenakjubkan ini.

    "Kirsch," Keduanya bersitatap terlalu singkat. Clanton balas menyapa dengan keramahan ala pria, "Rix. Aku mengganggu kalian?"

    "Tidak." Sialnya Nix memandang seniornya berbarengan dengan lirikan lelaki itu padanya. Diam menjadi refleks paling wajar atas kontak mata yang tak disengaja itu. "Aku undur diri, adik - adik kelas."

  Selepas kepergian senior misterius itu, Nix tertunduk dalam dua lututnya yang ditekuk. "Rix mengatakan apa padamu?" Clanton tak menunggu untuk mencari tahu penyebab mimik muka Nix yang berubah. Penasaran, tentu saja.

  "Kau peringatkan aku soal kepedulian," kata - kata itu diucapkan dengan lirih. Clanton menunduk sebentar sebelum memutuskan ikut menekuk sikunya di depan sebelah kiri Nix. Ia tahu tak ada niatan gadis itu untuk memperbesar volume suara. "Kau seharusnya tak peduli apa yang aku lakukan."

   Clanton terdiam seperempat menit berikutnya. Ia pikir perempuan itu akan mencurahkan isi pikirannya begitu mendongakkan kepala. Kenyataannya berbalik dengan prediksi. Perempuan itu melengos dan memilih menutup rapat dirinya. Pun, ia hanya bisa menghela napas. "Kau sebaiknya berhati - hati dengan dia."

   "Rix?" tanya Nix, dengan kesinisan tergambar eksplisit pada raut muka.
   "Athelerix Broughton." terang Clanton cepat. Nix langsung menghubung-hubungkan namanya yang panjang itu dengan aura bawaan lelaki netra biru safir itu. "Sebaiknya kau menyingkir dari lingkupnya kalau kau ingin privasimu terjaga."
   "Maksudmu?"
  
   "Rix dikenal banyak orang dengan keahliannya yang macam - macam. Ia bisa berkebun, merawat sawah, memperbaiki barang - barang elektronik dan kendaraan, dan masih banyak lagi." Clanton melihat kilatan emosi yang terlintas pada iris Nix, walau tak terlalu kentara dan tak lama.
   "Sifatnya yang bijak juga membuatnya seperti itu. Disegani kaum pria dan dikagumi banyak wanita."
 
   Tak heran Nix mendapati dirinya sendiri bereaksi biasa saja atas pernyataan Clanton. Muka Athelerix Broughton memancarkan sesuatu sejenis karisma berselubung citra yang elusif. Dapat ia bayangkan bagaimana lelaki itu berinteraksi dengan orang - orang sekitar. "Jadi..."

   "Jadi?"
  "Jadi kau tahu kenapa pria seperti Broughton mengajakku bicara?"
  Mata Clanton menyipit, "Aku tidak tahu dan tidak bisa berspekulasi kalau kau tidak mengatakan apa yang kalian obrolkan, Latrans. Aku bukan cenayang."

  "Oh, ya," Iris emas Nix berputar di tempatnya, "Tentu saja. Dia hanya bertanya asalku dan alasan kepindahanku kemari." Perempuan itu mengerjap. Tak memahami sikap impulsifnya yang terang - terangan melindungi Broughton dari fakta yang ia ucapkan sendiri.

   "Hanya itu?"
   Pertanyaan dengan siratan ragu itu dijawab anggukan yang sama ragunya. Intuisi Nix, yang selalu bekerja tanpa konsep menuntunnya agar tetap menutupi kebenaran. Entahlah.

°•°•°•

   Sekembalinya Nix dari sekolah, absennya sang ibu di rumah mereka membuat gadis itu agak kecewa. Wanita paruh baya yang kesibukannya seakan tak pernah berkurang itu sulit meluangkan waktu untuknya. Nix besar dan tumbuh dengan sembilan puluh persen asuhan asisten rumah tangga yang berjumlah lebih dari satu. Ayahnya menyewa tenaga ahli soal urusan psikologis anak dan seputar itu kala umurnya belum menyentuh angka sepuluh.

ElclestineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang