BAB I

71 2 1
                                    

Bagian 3

- See the Unseen -

   Tak bisa langsung terlelap Nix malam itu. Gelisah menduduki singgasana emosi dalam pikiran. Biasanya, ponsel akan dengan mudah dan cepat melengserkannya menjadi sebuah ketenangan yang biasa mendiami singgasana itu. Tapi lain cerita kali ini.

   Melirik jam dinding kamar, Nix menyadari tiga jam setelah peristiwa itu ia cuma membaringkan diri di kasur. Selama ia memejamkan mata, semakin logikanya memacu diri untuk menemukan sebuah kepastian. Setidaknya bukan hanya membiarkan saja. Berdiam diri takkan menuntaskan masalah.

   Hingga akhirnya Nix memutuskan duduk berbaring di tepi ranjang. Mengambil ponsel, lantas segera bergegas memasuki kamar mandi dalam kamar tidurnya. Cahaya lampu yang tak begitu cerah mengusir kebutaan mata Nix dalam gelap. Dipindainya bilik persegi berukuran 1,5 x 2 meter berlatarkan ubin serta dinding berwarna gading.

   Tak ada yang aneh. Sumpah. Nix meyakinkan dirinya sendiri. Ia telah menggunakan kamar mandi ini sebanyak dua kali, terhitung satu hari sebelum ia bersekolah. Dan ia tak mengalami apa - apa yang membahayakan.

   Menoleh ke kiri, Nix melihat cermin yang memantulkan refleksi puncak kepala hingga hidungnya saja. Kian mendekati si cermin lonjong,  ia bisa melihat tampilan mukanya yang sedikit lebih pucat dari biasanya. Jujur, perutnya seakan masih ditempati lubang besar menganga yang meminta pasokan makanan. Adrenalin butuh energi yang tinggi untuk diedarkan ke seluruh tubuh.

   Nix menyadari bahwa segala furnitur di sini masih berpenampilan baik. Mulus dan kinclong, seakan rutin dirawat. Jadi, pertanyaannya, apakah saluran air dalam pipa - pipa tak terlihat di villa ini sama bersih dan terawatnya dengan furnitur di dalamnya?

   Benak Nix mengkoarkannya sewaktu ia merendahkan tubuhnya untuk melihat ujung wastafel. Gadis itu, secara sadar terkekeh mengejek kebodohannya sendiri. Memangnya apa yang bisa ia lihat dari lubang gelap dengan mata telanjang?

   Sesuatu pasti telah melumat kadar kecerdasannya. Nix mengangkat ponsel guna mengaktifkan senter lalu kembali mengamati lubang itu. Oh. Ya ampun.

   Tentu saja semua baik - baik saja. Semua baik - baik saja. Bagaimana mungkin darah terlihat seperti air bening dan kejadian itu pindah lokasi? Lagi, kekehan Nix muncul. Menjadi bodoh seharusnya jadi opsi yang paling ia jauhi di situasi demikian.

   Gumaman batin Nix mengandung makna bahwa kasus ini telah ditutup. Doa untuk hari yang membaik terucap tanpa suara. Setelahnya lampu berhenti menyala dan Nix menutup pintu dengan perasaan lega yang meski hanya secuil.

  Nix memerhatikan kamarnya sekali lagi. Ah. Jendela kamar takkan memberikan suasana terbaik kalau masih mengenakan tirai kain. Terlebih lagi jenis sheer bermotif  Langkah kaki Nix seolah menyeret, barangkali ia lelah juga tak punya begitu banyak energi. Lagipula, ide mengganti tirai kain dengan kertas tebal bisa dilaksanakan esok atau kapan hari.

  Namun Nix telanjur menggerakkan kakinya dalam irama yang cepat. Disingkapnya kain tipis itu, hanya untuk menyegarkan matanya dengan gelap gulitanya malam. Langit tak berbintang, bisa jadi ia salah karena matanya tak cukup mampu jangkau bahkan hanya bayangnya saja.

  Dihela napas panjang, dan dalam proses menjerniahkan pikiran itu, sesuatu yang gelap menimpa kesadarannya. Nix beku dalam spekulasi - spekulasi yang ramai bermunculan dalam hening. Seratus persen ia meyakini kebenaran bahwa seseorang bertudung gelap berada di areal villa.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 29, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ElclestineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang