🥀 perdón

195 16 0
                                    

“Hanin, kamu yakin mau pergi?” suara melemah yang terdengar sangat jelas, walaupun hanya dari sambungan telepon.

Gadis berambut hitam pekat, ber-name tag ‘Hanin Kim’ itu menghela napas beratnya. “Aku yakin, seyakin kamu yang tega-teganya ngeduain aku sama temenku sendiri. ”

“Hanin jangan pergi, aku ke rumah kamu sekarang!”

Pip.

“Haechan, no!”

Setelah memasukkan beberapa potongan baju dan barang-barangnya yang lain ke dalam koper. Ia merebahkan tubuhnya sambil menghapus air mata yang mencoba meloloskan diri.

Pintu kamarnya berderit, “Kamu serius mau pergi ke Spanyol?” itu suara papanya yang sudah lanjut usia. Hanin bangkit dari posisi tidurnya.

Ia mengangguk lemah, “Maafin Hanin, Pa, Hanin nggak bisa ngelanjutin sekolah di sini. Yang penting, papa doain Hanin terus, biar Hanin bisa sukses di sana, ya walaupun masih dibantu sama Uncle John.” Hanin bangkit untuk memeluk papanya.

“Nin, taksi pesanan kamu udah dateng.” Suara serak itu, suara kakak perempuan Hanin yang akan menikah dua hari lagi. Kakaknya bersandar di luar tembok kamar Hanin sambil menahan tangis.

Hanin mengangguk pelan, sambil ia menyeret kopernya perlahan menuju pintu pagar rumahnya. Tiba-tiba ia berhenti.

“Kakak bahagia selalu sama Kak Yoongi ya, aku yakin kok, Kak Yoongi pasti bisa bahagiain kakak, nggak kayak Haechan.” Kata Hanin sambil memeluk erat kakak satu-satunya itu. “Maafin aku karena nggak bisa ada di hari bahagia kakak, tapi aku turut bahagia buat pernikahan kakak. Tolong jaga papa ya, Kak. Maaf aku nggak bisa jadi anak dan adik yang baik buat kalian. Aku sayang kakak.”

Hanin melambaikan tangannya sambil terus melangkah perlahan menuju taksi yang sudah tiba sedari tadi.

“Hanin, I love you! I'm so sorry.” Haechan yang berlari kencang dari arah samping, membuat Hanin terkejut. Untungnya, Haechan langsung memeluk Hanin.

Di dalam pelukan singkat itu, keduanya menangis. “Aku sayang kamu, Hanin, tolong dengerin penjelasan aku dulu.”

Hanin tidak menggubris perkataan Haechan, ia malah membuka pintu mobil tanpa menatap Haechan sedikitpun. “Nggak ada yang perlu buat dijelasin lagi, kesempatan yang aku kasih ke kamu, selalu aja kamu buang. Aku nyerah sama kamu. Kita putus. Tolong jangan ganggu aku.”

Sepeninggalan Hanin, semuanya membisu. Bahkan kakak dan papanya pun masih berdiri di luar memandangi gerbang yang baru saja Hanin lewati. Dan Haechan? Haechan berjalan kembali ke rumah sambil terus menyesali kecerobohannya.

“Halo, Kak?”

“Ada barang kamu yang ketinggalan?”

“Selamat ulang tahun.”


🍂🍂🍂

I'm ready for join kontes yang diselenggarakan fanficindo.
Ya walaupun aku tau karyaku belum sebagus penulis lain. Tapi, perasaan yang membludak ini nggak bisa aku ungkapin lewat suara, jadilah kutulis.

Untuk tiga orang yang menjadi inspirasiku menulis cerita ini, aku ucapkan terima kasih banyak. Tanpa kalian, aku nggak akan nemu ide baru buat ikut kontes ini.

🙃

— 378w —
Selasa, 28 Mei 2019
— hennywidiawati

Mad, maaf, Maite ▫️「mark lee & lee haechan」 ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang