Twelve

10 0 0
                                    



Orang tua Jeffrey berhasil membuka pintu kamar anaknya menggunakan kunci cadangan. Karena situasi ini mereka tak bisa diam saja. Jam satu pagi Jeffrey baru dipindahkan ke atas tempat tidur.

Sekitar empat jam ia tidur meringkuk di lantai tanpa alas apapun agar tubuhnya terhalang dari lantai secara langsung. Suhu ruangan sangat dingin karena ac dihidupkan ditambah dinginnya angin malam yang masuk saat hujan deras dengan jendela terbuka lebar.

Beruntung kedua orangtua Jeffrey berprofesi sebagai dokter, dengan sigap dan cekatan mereka menangani anaknya. Raut wajah panik kedua orang tuanya masih terlihat sangat jelas kala Jeffrey menggigil hebat malam tadi efek suhu dingin yang menusuk kulit sampai menembus tulang, wajahnya pucat, tubuhnya kaku.

Jeffrey bangun saat jarum jam menunjukan angka sepuluh pagi. Tubuhnya sudah hangat dilapisi tiga selimut tebal sekaligus yang menutup badannya sampai batas leher. Kain kompres masih menempel di dahi. Ia masih terdiam, mengingat-ingat kejadian semalam.

"Sudah bangun?"
Ibunya membuka pintu

"Engg.."
Jeffrey mengangguk lemah

"Maafin mamah ya sayang, ma--"
Ibunya duduk disisi Jeffrey sambil memegang nampan

"Ssstt.. Sudahlah mah. Mamah nggak salah, Jeffrey yang harusnya minta maaf udah buat mamah sama papah cemas"
Jeffrey bergerak bangun untuk duduk

"Makan dulu ya, udah dua hari kamu ngga makan Jeff. Ini enak, buatan mamah sendiri"
Ibunya beralih memegang mangkuk bubur

"Hmm"
Jeffrey mengangguk menatap kosong

Jeffrey makan dengan diam, tidak ada penolakan disetiap suapan ibunya. Ibunya juga diam tidak mengatakan sepatah katapun, sebenarnya ia juga ingin bertanya banyak hal namun jika dipertanyakan takut menyinggung perasaan anaknya karena membahas tentang Jeana, lagi dan lagi. Hingga isi mangkuk itu habis tak tersisa. Setelah itu meminum susu digelas bermotif kaktus favoritnya meneguk sampai sisa setengah.

"Mahh.. Jeffrey boleh minta izin?"
Jeffrey menegakkan duduknya

"Izin tetang apa sayang?"
Ibunya meraih tangan Jeffrey dan mengisap lembut punggung tangannya

"Habis ini Jeff mau berkunjung ke tempat Jeana, boleh kan mah?"
Jeffrey menggenggam erat tangan ibunya

"Boleh sayang.. Asalkan kamu sudah sehat. Perlu mamah temani?"

"Eumm.. Tidak usah, aku bisa sendiri"

"Benarkah? Mamah akan siapkan supir untuk mengantarkanmu Jeff, demi kesehatanmu saat ini"
Ucap Ibunya dengan sedikit berat hati mengizinkan

"Baiklah.. Aku takkan pergi sendiri. Terimakasih"

"Sama-sama sayang"
Ibunya mengusap lembut surai Jeffrey






















Playlist : Billie Eilish - Six feet under



Kaki jeffrey bergetar saat sopirnya membuka pintu mobil mempersilahkan saat ia sudah sampai di pintu gerbang pemakaman. Tangannya meraih sebucket bunga yang tadi ia beli dari toko bunga sewaktu dalam perjalanan. Rasanya seperti di alam mimpi. Sopirnya menyuruh Jeffrey untuk berjalan mengikuti dibelakangnya agar menunjukan tempat peristirahatan terakhir kekasihnya.

Langkah demi langkah ia menapaki tanah. Menguatkan diri karena sebentar lagi ia melihat kekasihnya. Bukan, ia melihat makam kekasihnya.

"Tuan, sudah sampai. Saya akan menunggu dimobil. Pesan nyonya.. jangan terlalu lama disini, kasihan non Jeana diatas sana"
Sopirnya tahu lokasi ini, karena waktu itu orang tua Jeffrey pun ikut mengajaknya saat upacara pemakaman

"Setelah selesai, aku akan kembali"
Jefffrey menahan air mata yang sudah menampung penuh diujung mata

Jeffrey jatuh lemas, kakinya tak ada tenaga lagi saat menatap gundukan tanah yang tertera nama Jeana disitu. Bagaimana bisa ini terjadi begitu saja.

Nafasnya tak beraturan. Air matanya sudah luruh membuat anak sungai dipipinya. Bahunya bergetar hebat. Jeffrey kehilangan dirinya, hatinya sedang berperang dengan kenyataan bahwa kekasihnya tidur didalam sana.

"Kau sangat tega meninggalkanku berdiri sendirian Jeanaa"
Jeffrey menunduk, tangannya memegang tanah

"Bahkan kau pergi terlalu cepat dan belum menepati janjimu"

"Jee.. Apa kau mendengarkanku?"
Jeffrey memandang ke langit sebentar

"Apa hanya aku yang harus mewujudkan cita-cita kita?"

"Aku benci diriku yang tersungkur lemah seperti ini.. Biasanya hanya kamu yang bisa menyemangati, kenapa sekarang tidak Je? Kenapa!"

Suara Jeffrey tersengal. Berharap banyak agar keajaiban datang supaya Tuhan dapat menyatukan mereka kembali, Ohh tidak bisa.

"Maafkan aku yang lemah ini. Maafkan aku yang tidak dapat menjagamu dengan baik, maafkan aku yang selalu menyusahkanmu, maafkan aku yang---"
Dadanya sesak tak kuat untuk melontarkan berjuta maaf

"Aku harap kau bahagia disana, aku berjanji aku tidak akan menangis lagi seperti ini sayang"

"Tuhan tahu tempat terbaik yang diberikan untukmu agar selalu disisi-Nya, semoga kau selalu tenang dialam sana"

Jeffrey menutup mulutnya. Matanya memerah, air matanya sudah banyak yang ia keluarkan. Tidak menyangka jika ia mengatakan kata-kata itu sebagai salam perpisahan dan do'a kepada sosok yang ia cintai selama ini.

"Aku takkan pernah melupakanmu, sampai kapanpun tidak akan pernah. Aku berjanji. Aku... Aku pamit, selamat tidur Jeana"

Jeffrey berdiri tergopoh, hanya seorang diri ia berada ditengah tanah pemakaman. Dia tidak tega terus menerus berada didekat makam Jeana. Jeffrey melangkah pelan menjauh dari tempat Jeana. Sesekali ia menengok kebelakan dan tersenyum pahit melihat gundukan tanah yang diatasnya sudah ia tinggalkan bucket bunga.

Takdir memang sekejam itu. Dipertemukan dahulu lalu harus siap akan datangnya waktu untuk berpisah. Belajar mengikhlaskan memang sangat sulit. Jeffrey berusaha untuk ikhlas, Jeana-nya benar-benar pergi.


Jeffrey duduk dikursi penumpang bagian belakang. Suasana sepi menyelimuti. Air yang terbungkus oleh gumpalan awan hitam telah terjatuh ke bumi. Di perjalanan pulang Jeffrey melamun memandang kaca yang sedikit berembun akibat suhu diluar yang lebih dingin daripada suhu dalam mobil.

Bagian kenangan melintas dipikirannya, lagi. Jika hujan seperti ini ia pasti berhenti di sebuah cafe bersama Jeana, menyesap caramel macchiato lalu berbagi cerita sampai tertawa bersama hingga awan hitam pergi menghilang tak tersisa.

Jeffrey hanya tersenyum. Kenangan indah bersama Jeana telah berakhir. Kini ia harus bangit dan berdiri tegak seolah ia membangun suatu hal baru dari nol. Dirinya harus bahagia, tidak boleh terpuruk lagi, ia sudah berjanji. Mungkin hal yang lebih berat akan menghadangnya esok, siapa yang tahu. Jeffrey harus membuat hatinya sekuat baja, tidak boleh lengah.

Tangannya mengusap air mata yang terjatuh tak disadari, manik matanya masih menatap buliran air yang menghantam kaca jendela mobil. Perlahan ia menghembuskan nafasnya. Merasa lega karena ia telah berkunjung ketempat Jeana.








































---------

Ini aku kasih lagu galau yang enak didengar kalian,
Bae Jinyoung - Hard to say goodbye

💐💐💐

It's a Lie ; JAEHYUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang