BAB II

3.7K 228 9
                                    


Hari-hari sebelumnya...,

“Mas, udah bangun?” bisik Amy pada lelaki yang tidur di sampingnya.

Hamam menggeliat sebentar, bergumam lalu berbalik menghadap Amy. Tangan yang kekar melingkari pinggang istrinya dan mendekap wanita itu. Mencari kehangatan pada epidermis kulit yang halus dan lembut miliknya.

Amy mengelus wajah tampan dengan rupa putih bersih yang mulai dihiasi garis-garis halus. Hembusan nafas kekasih hati menggelitik puncak hidungnya, sesuatu yang sangat ia sukai dari Hamam. Ia ingin berlama-lama dalam dekapan laki-laki itu.

[Ah, betapa aku menyayanginya]

Batinnya sambil mengecup pipi laki-laki itu lalu melepaskan dekapan suaminya dan beranjak bangun dari ranjang.

Hari menjelang subuh, suara-suara orang mengaji terdengar mengalun dari speaker masjid yang terletak tak begitu jauh dari rumah mereka.

Dengan letih, akibat pergumulan semalam, usaha untuk mengais ladang pahala buat suami. Amy bergegas ke kamar mandi dan membasuh tubuhnya dengan mengikuti rukun.

Setelah usai, ia berpakaian dan keluar dari kamar menuju dapur. Segera mempersiapkan makan pagi untuk suaminya.

Ia menjerang air untuk membuat kopi hitam, memasukkan dua potong roti tawar ke dalam toaster lalu memutar tombolnya ke angka lima.

[Mas Hamam suka yang garing]

Batinnya sendiri.

Jemarinya yang lentik membuka lemari dapur dan mengambil oats yang berjajar di nakas. Ia lalu menyeduh oats di satu mangkuk sementara kopi hitam di cangkir favorite Hamam.

Semua ia lakukan dengan cekatan. Seolah-olah rutinitas bertahun-tahun itu telah hapal di luar kepala dan tubuhnya bergerak dengan sendirinya.

Ketika ia mengoleskan selai srikaya ke roti yang telah garing sempurna, adzan Subuh berkumandang.

Segera ia tuntaskan tugasnya menata meja makan. Lalu bergegas menuju kamar. Membangunkan Hamam dari tidurnya.

“Mas..., Mas..., bangun. Solat Subuh dulu,” panggilnya sambil menyentuh pundak Hamam lembut.

Laki-laki itu mengerang sebentar, menggeliat lalu tidur lagi.

“Mas, ayo solat berjamaah. Kita tuntaskan ikhtiar kita dengan doa,” bisiknya di telinga Hamam sambil mengguncang tubuh paripurna itu dengan lembut.

“Kau duluan saja, Dek. Aku nyusul ntar,” jawab Hamam setengah sadar. Lalu kembali mendengkur halus.

Amy terdiam. Ada segumpal kecewa merasuk ke dalam hatinya. Mengapa Hamam kini seperti kehilangan semangat saja?

Wanita dengan usia telah genap 30 tahun itu lalu berdiri. Lama memandangi Hamam yang kembali pulas tertidur. Tubuh laki-laki itu hanya dibalut dengan  celana boxer saja. Memperlihatkan dada bidang dan otot perut yang masih sempurna.

Sambil menghembuskan nafas berat, Amy menyelimuti dan meninggalkannya.  Mengambil wudhu lalu membentangkan sajadah menunaikan solat Subuh.

Ia menyesali diri kenapa tidak segera bangun dan solat tahajud di sepertiga malam yang penting. Hendak memohon kebaikan Allah untuk menganugerahkan mereka seorang anak.

[Satu saja, Ya Allah. Aku hanya minta satu. Enam tahun merupakan waktu yang terlalu lama untuk Kau berikan ujian kepada kami]

Lirih ia bisikkan keluhan yang sama di  tiap hari. Air mata menganak sungai di pipi, jatuh menimpa mukena putih yang dikenakannya. Bahunya berguncang hebat setiap ia menyuarakan beban berat yang dipikulnya.

GariS Dua dari Rahim Si MandulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang