BAB IV

2.5K 223 11
                                    

Sudah tiga hari Hamam tak pulang. Amy hanya bisa mereguk kecewa saat bayangan suaminya tak menyapa netra.


Mbok Napsiah memberitahu dirinya, Hamam pulang keesokan hari setelah kejadian itu.



"Tuan ngambil pakaian sama tas dan laptop kerjanya aja, Nya. Waktu Nyonya Amy masih tidur. Terus langsung pergi pake mobil Tuan."



Mata tua itu menatap sedih Amy.




"Mungkin nginap di rumah Ndoro Besar, Nya," usulnya.




Amy dirundung kekecewaan yang dalam. Bahkan suaminya tak memberikan kesempatan sama sekali untuk membela diri. Hamam lebih memilih mendengarkan ibunya ketimbang istri yang selalu dipukuli ini.



"Nya, makan dulu. Biar cepat sehat," bujuk Mbok Napsiah. Ia masuk ke dalam kamar menghampiri Amy yang sedang berbaring sambil menatap langit-langit. Kosong.




Tangan tuanya mengangsurkan semangkuk bubur ayam pada wanita itu.


"Bagaimana mau makan, Mbok. Mulutku bengkak begini. Susah buat ngunyah. Sakit semua...," ucap Amy lirih.



Ada bening di sudut mata. Dengan perlahan, Mbok Napsiah mengusap airmatanya. Bagai kasih sayang seorang ibu, wanita berumur itu mengangsurkan sesendok bubur yang masih mengepulkan asap tipis ke mulut Amy. Harum aromanya menerbitkan selera sang nyonya.


"Dicoba dulu, Nya. Biar badan Nyonya kembali kuat."



Amy beringsut duduk. Mencoba membuka mulutnya sedikit dan seketika mengaduh. Lalu menggelengkan kepala dan kembali membaringkan tubuhnya ke ranjang.




"Taruh di situ aja, Mbok. Nanti kalo sudah mendingan, saya makan sendiri," bisiknya lirih sambil memejamkan mata. Berusaha untuk tidur kembali.



Dia sedang tak ingin bergerak. Tubuhnya terasa sakit dan ngilu.



Mbok Napsiah menahan tangis. Lalu dengan perlahan meletakkan mangkuk berisi bubur dan segelas teh hangat di atas meja di samping tempat tidur.



Wanita tua itu berjalan keluar dan menutup pintu perlahan. Ia mengusap mata yang berair dengan ujung kebaya lusuhnya. Merasa sedih dengan keadaan nyonya rumah. Yang walaupun baik hati tetapi bernasib malang sekali.


***



"Oh, Amy...."



Poppy mendekap mulutnya saat melihat keadaan sepupu satu-satunya itu ketika datang berkunjung di sore hari. Tiga hari setelah kejadian tragis itu. Seolah-olah mendapatkan firasat buruk mengenai Amy.




Dan, ternyata benar.




Amy terlihat begitu buruk.


Walaupun sudah mengempis, memar dan bengkak di wajahnya masih terlihat mengerikan. Kulit di sekitar matanya membiru, mulutnya bengkak hebat hingga terlihat aneh dan menyedihkan.




"Tinggalkanlah dia, Amy. Kau tak pantas diperlakukan seperti ini. Bahkan binatangpun dilindungi dan tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang begitu," ucapnya sambil menangis.



Amy memandang ke arahnya melalui matanya yang sendu.




"Aku memang salah, Pop. Tidak bisa menjaga diri dan marfuah suami. Menyia-nyiakan kepercayaan yang sudah diberikan kepadaku," jawabnya menunduk.



Poppy membelalak tak percaya. Wanita yang sebaya itu segera menggenggam tangan Amy. Iris kecoklatannya membesar, geram dengan kebodohan sepupu yang lemah ini.




GariS Dua dari Rahim Si MandulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang